Seiring dengan perkembangan zaman, suatu permasalahan sudah bisa dipastikan juga akan terus bertambah, begitu juga dengan hukum. Akan tetapi, terkadang permasalahan yang timbul selangkah lebih maju dibandingkan dengan hukum yang ada. Karena memang hukum itu sendiri kebanyakan dibuat setelah terjadinya suatu permasalahan. Disinilah dibutuhkan kepiawaian seorang hakim dalam menginterpretasikan sebuah Undang-undang. Jika memang di dalam Undang-undang permasalahan tersebut tidak ada disinggung sama sekali, maka hakim berhak melakukan ijtihad.
Sebagaimana disebutkan dalam Ushul Fiqh, Ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara'. Jadi, seorang hakim (khususnya hakim agama) memang dituntut untuk menguasai sumber-sumber hukum dan kaidah-kaidah yang ada. Yang demikian itu sangat membantu dalam menerapkan ijtihad. Sedangkan dalam konteks Undang-undang, maka yang dibutuhkan adalah pemahaman yang luas dalam memahami sebuah Undang-undang. Misalnya dapat dilihat dari segi sosial budayanya, atau mungkin dari faktor kemaslahatannya. Sehingga nantinya sebuah keputusan hakim dapat diterima oleh semua kalangan, karena dilandasi dengan kebijakan.
Itu terjadi karena penemuan hukum adalah merupakan kegiatan terutama dari hakim dalam melaksanakan undang-undang bila terjadi peristiwa konkrit. Dimana dalam kegiatan tersebut (penemuan hukum) dibutuhkan adanya suatu metode (langkah) yang nantinya dapat dipergunakan oleh penegak hukum (hakim) dalam memberikan keputusan terhadap suatu peristiwa hukum yang terjadi.
Salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu adalah melalui interpretasi atau penafsiran. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit. Diantara macaman Metode Interpretasi adalah:
1. Interpretasi Menurut Bahasa (Gramatikal)
Metode interpretasi gramatikal merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari hanya sekedar membaca undang-undang. Di sini arti atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Metode interpretasi ini biasa juga disebut dengan metode obyektif.
2. Interpretasi Teleologis atau Sosiologis
Metode interpretasi ini biasa digunakan apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak perduli apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak. Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama waktu sekarang. Interpretasi teleologis ini biasa juga disebut dengan interpretasi sosiologis, metode ini baru digunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan pelbagai cara.
3. Interpretasi Sistematis
Terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dan berhubungan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan. Setiap undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Metode interpretasi sistematis ini adalah merupakan metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undang-undang lain, metode ini biasa pula disebut dengan interpretasi logis.
4. Interpretasi Historis
Salah satu cara untuk mengetahui makna undang-undang dapat pula dijelaskan atau ditafsirkan dengan meneliti sejarah terjadinya. Penafsiran ini dikenal sebagai interpretasi historis, dengan kata lain penafsiran ini merupakan penjelasan menurut terjadinya undang-undang.
Terdapat dua macam interpretasi historis, yaitu penafsiran menurut sejarah undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum. Dengan penafsiran menurut sejarah undang-undang, hendak dicari maksud ketentuan undang-undang seperti yang dilihat oleh pembentuk undang-undang pada waktu pembentukannya.
Inti dari interpretasi diatas adalah untuk memahami aturan hukum (UU) dalam peristiwa yang tidak jelas atau bahkan belum diatur sama sekali. Dalam hal inilah ijtihad hakim sangat berperan, karena jika tidak terdapat penyelesaian hukum maka masalah akan tetap berlarut-larut tanpa penyelesaian. Sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 1964, tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Yang kemudian diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman.
Akan tetapi, sesuai dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak ditemukan lagi oleh karena adanya campur tangan kekuasaan negara yang lain, yaitu Presiden/Pemimpin Besar Revolusi. Menurut ketentuan pasal 3, “Pengadilan mengadili menurut hukum sebagai alat revolusi berdasarkan Pancasila menuju masyarakat sosialis Indonesia”. Dalam penjelasan Undang-undang tersebut dijelaskan:
Suatu lembaga yang baru adalah turun atau campur tangan Presiden dalam urusan peradilan. Bila kita memegang teguh Trias Politica, maka pastilah lembaga itu tidak akandapat ditolerir. Kita berada dalam Revolusi dan demi penyelesaian Revolusi tahap demi tahap sampai tercapai masyarakat yang adil dan makmur, kita persatukan segala tenaga yang progresif, termasuk badan-badan dan alat-alat Negara yang kita jadikan alat Revolusi.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud dalam UUD 1945, tampak kembali sejak diundangkan dan berlakunya UU no. 14 tahun 1970 Jo. UU no. 35 tahun 1999. Menurut ketentuan pasal 1. “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggarranya Negara Hukum Republik Indonesia." Selanjtnya dalan penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka itu mengandung pengertian bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya. Ia bebas dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal yang di izinkan Undang-undang. Walaupun demikian, kebebasan itu sifatnya tidak mutlak karena hakim bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencarai dasar-dasar dan asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapinya, sehingga keputusan mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.
Hakim dalam memutuskan perkara, yang terpenting adalah fakta atau peristiwanya, dan dari situ akan:
- Tersimpulkan hukumnya; atau
- Terdapat peraturan-peraturan hukumnya; atau
- Hakim menemukan hukum (Judge made law)
Metode penemuan hukum (ijtihad) yang dimaksud adalah “thariqah”, yaitu jalan atau cara yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam memahami, menemukan dan merumuskan hukum syara’. Penemuan hukum dalam hukum Islam (ijtihad), pada dasarnya adalah usaha memahami, menemukan dan merumuskan hukum syara’. Bagi hukum yang jelas terdapat nash, usaha yang dilakukan oleh penemu hukum (mujtahid) adalah memahami nash yang berisi hukum itu dan merumuskannya dalam bentuk rumusan hukum yang mudah dilaksanakan secara operasional. Bagi hukum yang tidak tersurat secara jelas dalam nash, kerja ijtihad adalah mencari apa yang terdapat dibalik nash tersebut, kemudian merumuskannya dalam bentuk hukum. Sedang bagi hukum yang sama sekali tidak ditemukan petunjuknya dalam nash, tetapi mujtahid menyadari bahwa hukum Allah pasti ada, maka kerja ijtihad adalah menggali sampai menemukan hukum Allah, kemudian merumuskannya dalam rumusan hukum yang operasional.
Dalam hal menemukan hukum dan menetapkan hukum di luar apa yang dijelaskan dalam nash Al-Quran dan Hadits, para ahli mengerahkan segala kemampuan nalarnya, mereka merumuskan cara atau metode yang mereka gunakan dalam menemukan hukum. Ada beberapa metode yang lahir dari hasil rumusan, diantaranya ada metode yang merupakan ciri khas (hasil temuan) seorang mujtahid yang berbeda (dan tidak digunakan oleh) mujtahid lainnya. Adanya perbedaan metode ini berimplikasi pada munculnya perbedaan antara hasil ijtihad seorang mujtahid dengan yang lainnya. Perbedaan metode tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan bentuk pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujtahid dalam berijtihad.
Meskipun ada beberapa metode ijtihad dalam menetapkan hukum, namun tidak semua metode itu disepakati penggunanannya. Dalam bahasan ini akan dikemukakan beberapa cara atau metode :
1. Qiyas
Secara bahasa qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Sedang pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa defenisi, yang walaupun redaksi berbeda tapi mengandung pengertian yang sama. Diantaranya, yang dikemukakan Sadr al-Syari’ah, bahwa qiyas adalah memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.
2. Istihsan
Istihsan termasuk salah satu metode penemuan hukum (ijtihad) yang diperselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara praktis. Secara etimologi istihsan berarti menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu. Tidak terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqhi dalam mempergunakan lafal istihsan dalam pengertian etimologi. Sedang secara terminologi Imam Malik sebagaimana dinukilkan oleh Imam Syathibi mendefenisikan istihsan dengan: memberlakukan kemaslahatan juz’i ketika berhadapan dengan dengan kaidah umum, yang hakikatnya bahwa mendahulukan mashlahah al-mursalah dari qiyas.
3. Mashlahah al-mursalah
Secara etimologi mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Secara terminologi, Imam Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya mashlahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’ (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta), sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemashlahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan kehendak hawa nafsu.
4. Istishhab
Secara etimologi, istishhab berarti “minta bersahabat” atau “membandingkan sesuatu dan mendekatkannya”. Secara terminologi terdapat beberapa metode istishhab, Imam al-Ghazali mendefenisikan istishhab dengan : berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada. Ibn Hazm mendefenisikan istishhab dengan berlakunya hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash (ayat atau hadits) sampai ada dalil lain yang menunjukkan perubahan hukum tersebut. Kedua defenisi ini, pada dasarnya mengandung pengertian bahwa hukum yang sudah ada pada masa lampau tetap berlaku untuk zaman sekarang dan yang akan datang selama tidak ada dalil lain yang mengubah hukum itu.
5. ‘Urf
Secara etimologi ‘urf berarti “yang baik”. Sedang ‘urf menurut ulama ushul fiqhi adalah kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan. Berdasarkan defenisi tersebut, Mushthafa Ahmad al-Zarqa mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu.
6. Mazhab Shahabi
Mazhab shahabi berarti pendapat para sahabat Rasulullah saw, yang dimaksud pendapat sahabat adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukilkan para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut. Disamping belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan hukum tersebut.
Dalam kaitannya dengan Undang-undang, hasil ijtihad tidaklah merupakan hujjah ( dasar ) atau UU untuk semua perkara, karena hukum hasil ijtihad itu didasarkan atas sangkaan ( dhan ), dan mujtahidnya itu sendiri menetapi hukum itu sepanjang pendapatnya tentang masalah itu belum berubah, sebab hukum hasil ijtihadnya itu merupakan hukum syar’i menurut persangkaannya, dan ia tidak dibenarkan meninggalkannya atau memakai pendapat mujtahid lain tentang ketentuan hukum masalah itu, kecuali kalau hal itu merupakan hasil ijtihad dan tarjih.
Demikian juga apabila mujtahid tersebut seorang hakim, kemudian ijtihadnya berubah setelah putusannya dijatuhkan, maka menurut kesepakatan ulama hal seperti ini putusan tersebut tidak boleh dibatalkan sepanjang tidak menyalahi dalil qath’i atau nash atau qiyas yang jelas (jaliy). Hal itu demi wibawa hukum itu sendiri, sebab kalau hasil ijtihad atau putusan itu dapat dibatalkan karena adanya perubahan ijtihad yang baru atau karena mengikuti hasil ijtihad hakim yang lain maka putusan-putusan itu tidak mempunyai ketetapan.
Apabila jika ada orang yang lebih ahli dalam bidang fiqh dari padanya sedang hakim sendiri tidak berpendapat demikian, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat. Pertama, hakim wajib berpegangan pada pendapatnya sendiri karena seorang mujtahid tidak boleh bertaklid. Seperti pada masa khulafaurrasyidin, sahabat Umar r.a pernah menetapkan sebuah hukum, kemudian pada kali yang lain beliau memutuskan perkara yang sama tetapi berbeda keputusannya. Di waktu orang –dalam kasus pertama- bertanya kepadanya beliau menjawab: ”yang dahulu adalah kami putuskan menurut dahulu dan ini adalah putusan kami yang sekarang” . Dan pendapat yang ke-dua mengatakan bahwa hakim boleh mengambil pendapat yang lain itu selama hakim tidak menyalahi pendapat sahabat karena pendapat sahabat lebih dekat kepada kebenaran dari pendapat yang diambil melalui jalan qias .
Dalam konteks yang berbeda, hakim merupakan unsur utama dalam pengadilan. Bahkan ia ‘identik’ dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman sering kali di identikkan dengan kebebasan hakim. Demikian halnya, keputusan pengadilan diidentikkan dengan keputusan hakim. Oelh karena itu, pencapaian penegakan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan. Berkenaan dengan itu, Cik Hasan Bisri mengaatakan bahwa munculnya idealisasi serta preskripsi-preskripsi tentang hakim. Dikalangan fuqaha’ terdapat beranekaragam pandangan tentang persyaratan untuk dapat diangkat menjadi hakim, termasuk diantaranya teentang kemampuan berijtihad. Hal lain yang menjadi bahan pembicaraan dikalangan mereka adalah jenis kelamin laki-laki merupakan syarat yang disepakati untuk dapat diangkat menjadi hakim. Sedangkan tentang perempuan terdapat beragam pandangan.
Disini, saya mencantumkan syarat-syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad dalam kajian ushul fiqh. Diantaranya adalah menurut Hanafi, ada lima syarat yang harus dipenuhi, di antaranya ;
1. Mengetahi bahasa Arab dengan segala seginya
2. Mengetahui cara pengambilan hukum dari ayat-ayat Al-Qur’an dan asbabun-nuzulnya.
3. Mengetahui hadist-hadist syar’i dan seluk beluk ilmu hadist.
4. Mengerti penerapan metode-metode ijtihat sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
5. Mengerti soal nasikh-mansukh
Syarat-syarat tersebut menurut Hanafi hanya diperlukan bagi seorang mujtahid mutlak untuk mujtahid parsial (untuk bidang tertentu) cukup mengetahui lapangan hukum menurut keahlian khususnya saja, misalnya lapangan hukum pernikahan.
Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, seorang mujtahid mutlak mesti melengkapi dirinya dengan alat atau syarat-syarat berikut ini :
1. Mengetahui segala ayat dan sunnah yang berhubungan dengan hukum.
2. Mengetahui masalah-masalah yang telah disepakati oleh para ahlinya.
3. Mengetaui nasikh-mansukh.
4. Mengetahui dengan sempurna bahasa Arab dengan ilmu-ilmunya.
5. Mengetahui rahasia-rahasia tasyri’.
6. Menetahui Qawaidil-Fiqh (kaidah-kaidah hukum fikih), di samping ushul fiqh.
Ditambahkan oleh beliau bahwa bagi seorang mujtahid yang berijtihad dalam beberapa masalah, cukuplah dia mengetahui dalil-dalil yang berpautan dengan masalah-masalah itu. Dan masih banyak lagi pendapat para pakar mengenai kriteria seorang hakim.
Kesimpulan
Ungkapan bahwa hakim tidak boleh menolak untuk memutuskan perkara dengan asalan hukum belum ada adalah kesempatan emas untuk menjadikan fiqh disebut dengan ijtihad. Suatu Hadits yang sering dikutip dalam pembahasan mengenai ilmu hukum Islam. Hakim dapat melakukan analogi dan interpretasi hukum, sebagaimana biasa sekali dibahas dalam ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh. Fiqh secara legal formal dapat dijadikan landasan dan pertimbangan hakim untuk memberi putusan hukum (Qodry Azizy, 2004:247-252)
Menurut Jimly as-Siddiqiy: seorang hakim yang baik di Indonesia adalah yang menguasai nilai-nilai dari hukum Islam, hukum positif dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Karena dengan menguasai tiga elemen tersebut, keputusan seorang hakim dapat diterima oleh semua kalangan.
Dan dalam konteks Undang-undang, sebagai seorang hakim agama juga tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip yang terdapat di dalam al-qur’an dan as-sunnah. Harus ada kejelian melihat sesuatu permasalahan dari segala aspek yang ada, agar hasil keputusannya bisa sempurna.
Daftar Pustaka
As-Shiddieqy, Hasbi. 1975. Pengatantar Hukum Islam I,. Jakarta , Bulan Bintang
_________________ Peradilan dan Hukum Acara Islam, PT Al-Ma’arif
http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/peradilan-agama
Soeparmono, 2005. Hukum Acara Perdata, Bandung, Mandar Maju
Bisri, Cik Hasan, 2003. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press
http://muliadinur.wordpress.com/2008/03/25/perbandingan-metode-penemuan-hukum/
Zuhriah, Erfaniah. 2008. Peradilan Agama di Indonesia. Malang, UIN Press
Syafe’i, Rachmat. 2007, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia
A. Hanafi, 1970, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang