Saat azan asar berkumandang, sahut-sahutan, karena banyaknya musholla dan langgar, terdengar suara khas yang membedakannya dari suara azan yang lain. Suara seorang anak yang dengan lantangnya mengajak orang-orang disekitarnya –yang sibuk dengan urusan duniawinya masing-masing- untuk rilex sebentar, mengistirahatkan saraf-saraf dan ototnya sejenak untuk menghadap kepadaNya. Saya yang sedari tadi mendengarkan panggilan suci dari rumah Bude (kakak dari ayah) tergerak tuk shalat berjamaah, namun bukan ditempat anak yang azan tadi, “di musholla yang dekat sajalah..” batin saya. Namun ketika hampir sampai di musholla yang dituju, pintunya masih tertutup dan tak ada seorang pun disana, hanya ada beberapa bapak-bapak yang sedang asyik ngobrol disamping musholla. “Ah, kenapa dari mereka gak ada yang azan? Apa karena keasyikan ngobrol jadi lupa waktu? Bukankah pahala azan itu besar, melebihi pahala imam shalat? Dan juga perbuatan yang mulia?” Ditengah pertanyaan batin yang masih belum jelas itu, terbesit pikiran “Mending saya datangi suara anak-anak yang azan tadi, yang sekarang ia asyik mendendangkan puji-pujian. Toh jika saya ingin azan dimusholla ini takkan bisa. Karena kunci pintunya pasti dibawa oleh takmir musholla.”
Sambil berlalu saya terus menyusuri jalan tapak demi setapak ketempat anak yang masih bersholawatan itu. Dari padatnya rumah-rumah penduduk, saya sisiri gang-gang yang ada. Cukup jauh memang. Ketika suaranya sudah terasa dekat –yang berarti mushollanya sudah didekat sini- ia menghentikan pujiannya, dan langsung Iqomah. Saya pun mempercepat langkah dan akhirnya sampai dimusholla itu. Tanpa pikir panjang saya langsung wudhu’ secepatnya karena takut ketinggalan rakaat pertama. Namun ketika masuk, ternyata shalat belum dimulai. Terdengar mereka saling berbisik, ada 3 anak disana. Ketika mendekat saya bertanya tentang siapa yang biasa jadi imam disini, khawatir jika ada ustadz/tokoh masyarakat disitu yang biasa dijadikan imam. Namun spontan salah satu anak menjawab “Jenengan mawon sing dadi imam (sampean saja yang jadi imam sholat)”ujarnya. Saya mbatin, “Jika tidak datang kesini berarti salah satu dari mereka yang akan mengimami shalat!?”. Dengan baju putih, sorban di leher, kopyah hitam, sarung yang dipakai serta wajah lugu mereka, terlihat masih kelas 4/5 SD. Kepribadian mereka yang telah sudi mengorbankan waktu bermain dengan azan dan shalat berjamaah inilah yang saya kagumkan. Mereka tidak menunggu diperintah untuk shalat berjamaah oleh orangtuanya, meskipun terkadang malah yang nyuruh itu tidak ikutan shalat berjamaah. Mereka telah membangun prinsip dari awal, bahwa ini kewajiban. Sehingga tanpa ada paksaan atau perintah mereka harus tetap menjalankannya. Apalagi se-umuran mereka masih takut-takutnya jika diancam dengan siksa neraka. Sehingga ada niat untuk selalu berbuat kebaikan demi memperoleh surga. Entah jika dibandingkan dengan orang mukallaf di abad ini...
Gang 3b, 18 Maret 2012
Sambil berlalu saya terus menyusuri jalan tapak demi setapak ketempat anak yang masih bersholawatan itu. Dari padatnya rumah-rumah penduduk, saya sisiri gang-gang yang ada. Cukup jauh memang. Ketika suaranya sudah terasa dekat –yang berarti mushollanya sudah didekat sini- ia menghentikan pujiannya, dan langsung Iqomah. Saya pun mempercepat langkah dan akhirnya sampai dimusholla itu. Tanpa pikir panjang saya langsung wudhu’ secepatnya karena takut ketinggalan rakaat pertama. Namun ketika masuk, ternyata shalat belum dimulai. Terdengar mereka saling berbisik, ada 3 anak disana. Ketika mendekat saya bertanya tentang siapa yang biasa jadi imam disini, khawatir jika ada ustadz/tokoh masyarakat disitu yang biasa dijadikan imam. Namun spontan salah satu anak menjawab “Jenengan mawon sing dadi imam (sampean saja yang jadi imam sholat)”ujarnya. Saya mbatin, “Jika tidak datang kesini berarti salah satu dari mereka yang akan mengimami shalat!?”. Dengan baju putih, sorban di leher, kopyah hitam, sarung yang dipakai serta wajah lugu mereka, terlihat masih kelas 4/5 SD. Kepribadian mereka yang telah sudi mengorbankan waktu bermain dengan azan dan shalat berjamaah inilah yang saya kagumkan. Mereka tidak menunggu diperintah untuk shalat berjamaah oleh orangtuanya, meskipun terkadang malah yang nyuruh itu tidak ikutan shalat berjamaah. Mereka telah membangun prinsip dari awal, bahwa ini kewajiban. Sehingga tanpa ada paksaan atau perintah mereka harus tetap menjalankannya. Apalagi se-umuran mereka masih takut-takutnya jika diancam dengan siksa neraka. Sehingga ada niat untuk selalu berbuat kebaikan demi memperoleh surga. Entah jika dibandingkan dengan orang mukallaf di abad ini...
Gang 3b, 18 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
waktunya berdiskusi