Hari ni, ada sedikit pencerahan tentang apa yang harus ku lakukan dalam pembuatan skripsi ini. Setelah sebelumnya sowan ke Kyai Abdurrahman Yahya, selaku pengasuh Pondok Gading, tadi pagi kami ngobrol banyak dengan 2 orang alumni gading, yang sekarang menjadi tim dalam pembuatan kalender hijriyah khusus untuk pondok. Dari beliau-beliau banyak ku dapatkan informasi dan anjuran serta saran terkait untuk tugas akhirku ini, dan aku mulai menikmatinya. Disamping beliau berdua masih lajang, dalam penyampaiannya terkesan ramah dan mau menolong semampunya. Dengan situasi yg enak ini ku optimis plus yakin, skripsi ini selesai akhir bulan agustus, trus melaju tuk ujian di bulan september..
Setelah selesai wawancara, ku pun izin undur diri takut beliau ada kesibukan lain, dan langsung menuju pondok tuk istirahat barang sejenak. Entah karna banyak mikir atau kenapa tiba-tiba kepala ini nyut-nyut seperti mau pecah. Dipaksakan untuk tidur pun tak bisa. 15 menit berlalu dan sakit ini belum hilang, meskipun daritadi sudah ku paksakan mata tuk terpejam. Hingga azan pun berkumandang. Dan ketika ku ingin memejamkan mata lagi, tiba-tiba hp bergetar, yang sepertinya ada yang nelpon.
Sebenarnya ingin ku abaikan saja telpon itu, "palingan gak penting-penting amat" batinku. Tapi akhirnya ku buka juga karna tak kunjung berhenti. Dan betapa kagetnya aku setelah tau siapa yang nelpon, P. Syarif_TG (Tuan Guru). “Ada gerangan apa beliau nelpon siang-siang gini? Apakah aku ada masalah?” beliau itu adalah Guru Spritualku dan keluargaku yang di kampung halaman. Nah, setahuku beliau itu nelpon ke muridnya jika memang ada sesuatu yang sangat penting atau genting. Akhirnya ku jawab telpon dari beliau. Setelah beruluk salam beliau langsung bertanya: “memangnya ada masalah apa ibnu, kok sepertinya berat banget”. Ku merasa semuanya baik-baik aja, Cuma agak sibuk ngurusi skripsi. “gak ada apa-apa Pak Yai, ni sekarang lagi bingung mikirin skripsi.” “Alhamdulillah, semestinya senang dong, kenapa harus bingung? Begini, tadi bapak kamu kerumah, nah beliau itu nangis tersedu-sedu. Bapak tanya katanya kangen sama anak-anak yang udah beberapa tahun gak pulang. Bapak tau, dulu bapakmu juga nangis menjelang hari raya karena kamu gak bisa pulang. Tapi kali ini kok kayak orang yang udah kangen berat, beliau juga terlihat kurusan. Gak tega bapak ngliatnya. Ya kamu pulanglah minimal 3 hari, hasihan bapak. Soal ongkos pesawat insyaallah bapakmu siap.” Mendengar keterangan seperti itu hati ini pun terhenyut, serasa tak percaya. Karena selama ini bapak, ibu dan aku juga sering sms-an atau telpon, biasa-biasa aja. Mereka mau memahami kalau aku harus mengejar target yang sekarang skripsi harus selesai. Jika ku pulang diwaktu yang kurang 3 minggu lagi ini, besar kemungkinan akan tertunda lagi. Dan itulah yang coba ku jelaskan ke Pak Yai. Di akhir pembicaraan beliau berkata: “Berbakti ke orangtua itu wajib ibnu, mumpung mereka masih ada dan sehat. Kalau ke guru itu bisa yang kedua. Mudah-mudahan dengan berbaktinya kamu sama orangtua semua urusanmu dimudahkan Allah, dibuat gampang semuanya. Memang terkadang anak tak bisa merasakan rasa kasih sayang atau mahabbahnya orang tua. Dan kangennya bapakmu itu udah terlalu besar, bapak takut terjadi apa-apa. Pulanglah minimal 3 hari, toh masih ada waktu seminggu lebih tuk nyelesaiin skripsimu itu.” Dengan diakhiri salam beliau menutup telpon. Sedang aku masih terus berfikir dan bingung mana yang harus ku dahulukan. Tak mungkin pulang kerumah hanya 3 hari, sedangkan perjalanan pulang-pergi 2 hari. Belum lagi mahalnya harga tiket pesawat menjelang hari raya idul fitri. Disisi lain jika ku pulang, besar kemungkinan skripsiku bakalan molor lagi, dan tak bisa ikut ujian di bulan september. Semuanya membuat kepalaku tambah pusing. Hingga sholat dzuhur pun otakku tak berhenti memikirkan antara rumah atau skripsi. Ya Allah.. tunjukkan ku jalan terbaik..
Sebenarnya, ku juga telah memendam rasa rindu yang dalam tuk bertemu bapak, ibu, serta adik kecilku Aini. Namun sengaja ku tahan toh wisuda oktober nanti juga akan ketemu. Apalagi di bulan yang penuh barakah ini, jika ku ingat saat-saat sahur dan berbuka bersama keluarga, tak kuasa mata ini berlinang. Bapak pernah mengeluhkan, “sepi rasanya sahur cuma bertiga, anak lanang pada gak dirumah. Makan jadinya terasa hambar, anyep.” Ibu juga pernah bilang, “Seandainya ibnu dirumah pasti enak liat ibnu makan, apapun lauknya pasti mau. Jadi ibu yang masak puas makanannya habis. Ibu juga semangat makan jadinya. Sekarang ibu jarang masak sayur, soalnya sering sisa, wong bapak dan aini gak suka.” Mengingat semua itu, ku sempat berfikir untuk membatalkan target ujian di bulan september, pulang dan sungkem ke orangtua sepertinya lebih baik. Toh lulus disemester sepuluh bukan sesuatu yang hina. Namun disisi lain hatiku juga mendambakan ingin segera lulus. Tak terbayangkan ngirinya jika nanti ku hanya jadi penonton teman-teman seangkatan yang wisuda.
Ya Allah……………………………..
(dengan desahan yang panjang tanda kebingungan dan pengharapan, hanya itu yang mampu terucap. Ku tak berani melanjutkan harapku)
Ku pasrahkan semuanya padamu Ya Allah. Semoga semuanya menjadi terbaik untuk saat ini dan akan datang. Amin…
Setelah selesai wawancara, ku pun izin undur diri takut beliau ada kesibukan lain, dan langsung menuju pondok tuk istirahat barang sejenak. Entah karna banyak mikir atau kenapa tiba-tiba kepala ini nyut-nyut seperti mau pecah. Dipaksakan untuk tidur pun tak bisa. 15 menit berlalu dan sakit ini belum hilang, meskipun daritadi sudah ku paksakan mata tuk terpejam. Hingga azan pun berkumandang. Dan ketika ku ingin memejamkan mata lagi, tiba-tiba hp bergetar, yang sepertinya ada yang nelpon.
Sebenarnya ingin ku abaikan saja telpon itu, "palingan gak penting-penting amat" batinku. Tapi akhirnya ku buka juga karna tak kunjung berhenti. Dan betapa kagetnya aku setelah tau siapa yang nelpon, P. Syarif_TG (Tuan Guru). “Ada gerangan apa beliau nelpon siang-siang gini? Apakah aku ada masalah?” beliau itu adalah Guru Spritualku dan keluargaku yang di kampung halaman. Nah, setahuku beliau itu nelpon ke muridnya jika memang ada sesuatu yang sangat penting atau genting. Akhirnya ku jawab telpon dari beliau. Setelah beruluk salam beliau langsung bertanya: “memangnya ada masalah apa ibnu, kok sepertinya berat banget”. Ku merasa semuanya baik-baik aja, Cuma agak sibuk ngurusi skripsi. “gak ada apa-apa Pak Yai, ni sekarang lagi bingung mikirin skripsi.” “Alhamdulillah, semestinya senang dong, kenapa harus bingung? Begini, tadi bapak kamu kerumah, nah beliau itu nangis tersedu-sedu. Bapak tanya katanya kangen sama anak-anak yang udah beberapa tahun gak pulang. Bapak tau, dulu bapakmu juga nangis menjelang hari raya karena kamu gak bisa pulang. Tapi kali ini kok kayak orang yang udah kangen berat, beliau juga terlihat kurusan. Gak tega bapak ngliatnya. Ya kamu pulanglah minimal 3 hari, hasihan bapak. Soal ongkos pesawat insyaallah bapakmu siap.” Mendengar keterangan seperti itu hati ini pun terhenyut, serasa tak percaya. Karena selama ini bapak, ibu dan aku juga sering sms-an atau telpon, biasa-biasa aja. Mereka mau memahami kalau aku harus mengejar target yang sekarang skripsi harus selesai. Jika ku pulang diwaktu yang kurang 3 minggu lagi ini, besar kemungkinan akan tertunda lagi. Dan itulah yang coba ku jelaskan ke Pak Yai. Di akhir pembicaraan beliau berkata: “Berbakti ke orangtua itu wajib ibnu, mumpung mereka masih ada dan sehat. Kalau ke guru itu bisa yang kedua. Mudah-mudahan dengan berbaktinya kamu sama orangtua semua urusanmu dimudahkan Allah, dibuat gampang semuanya. Memang terkadang anak tak bisa merasakan rasa kasih sayang atau mahabbahnya orang tua. Dan kangennya bapakmu itu udah terlalu besar, bapak takut terjadi apa-apa. Pulanglah minimal 3 hari, toh masih ada waktu seminggu lebih tuk nyelesaiin skripsimu itu.” Dengan diakhiri salam beliau menutup telpon. Sedang aku masih terus berfikir dan bingung mana yang harus ku dahulukan. Tak mungkin pulang kerumah hanya 3 hari, sedangkan perjalanan pulang-pergi 2 hari. Belum lagi mahalnya harga tiket pesawat menjelang hari raya idul fitri. Disisi lain jika ku pulang, besar kemungkinan skripsiku bakalan molor lagi, dan tak bisa ikut ujian di bulan september. Semuanya membuat kepalaku tambah pusing. Hingga sholat dzuhur pun otakku tak berhenti memikirkan antara rumah atau skripsi. Ya Allah.. tunjukkan ku jalan terbaik..
Sebenarnya, ku juga telah memendam rasa rindu yang dalam tuk bertemu bapak, ibu, serta adik kecilku Aini. Namun sengaja ku tahan toh wisuda oktober nanti juga akan ketemu. Apalagi di bulan yang penuh barakah ini, jika ku ingat saat-saat sahur dan berbuka bersama keluarga, tak kuasa mata ini berlinang. Bapak pernah mengeluhkan, “sepi rasanya sahur cuma bertiga, anak lanang pada gak dirumah. Makan jadinya terasa hambar, anyep.” Ibu juga pernah bilang, “Seandainya ibnu dirumah pasti enak liat ibnu makan, apapun lauknya pasti mau. Jadi ibu yang masak puas makanannya habis. Ibu juga semangat makan jadinya. Sekarang ibu jarang masak sayur, soalnya sering sisa, wong bapak dan aini gak suka.” Mengingat semua itu, ku sempat berfikir untuk membatalkan target ujian di bulan september, pulang dan sungkem ke orangtua sepertinya lebih baik. Toh lulus disemester sepuluh bukan sesuatu yang hina. Namun disisi lain hatiku juga mendambakan ingin segera lulus. Tak terbayangkan ngirinya jika nanti ku hanya jadi penonton teman-teman seangkatan yang wisuda.
Ya Allah……………………………..
(dengan desahan yang panjang tanda kebingungan dan pengharapan, hanya itu yang mampu terucap. Ku tak berani melanjutkan harapku)
Ku pasrahkan semuanya padamu Ya Allah. Semoga semuanya menjadi terbaik untuk saat ini dan akan datang. Amin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
waktunya berdiskusi