Jam menunjukkan 13.50 WIB ketika ku pulang dari
kampus. Cuaca terik, matahari masih bersinar panas, seolah membakar apapun yang
terkenar sinarnya. Beberapa hari ini memang cuaca lagi cerah-cerahnya, setelah
berminggu-minggu daerah Malang dan sekitarnya diguyur hujan. Meski tidak deras,
hujan yang tanpa henti itu mengakibatkan beberapa daerah banjir, walau hanya
setinggi mata kaki atau betis. Sebenarnya, mulai jam sepuluh pagi kuliah telah
usai, hanya saja ku pengen menyetorkan hafalan ayatul ahkam kepada Dosen Wali. Hafalan yang
berjumlah 40 ayat dan 40 hadits itu sebagai syarat untuk bisa mengikuti ujian
komprehensif; ujian yang diadakan sebelum ujian skripsi, yang mencakup semua
mata kuliah dari semester satu hingga akhir. Masing-masing dosen wali mempunyai
cara yang berbeda-beda dalam menerima setoran dari mahasiswa. Ada yang harus
setoran 40 ayat/hadits sekaligus, ada yang seminggu harus setor 10 ayat beserta
maknanya, dan ada beberapa anak Hafidz (hafal al-Qur’an) yang hanya
setor 1 ayat tapi langsung diluluskan. Namun karena saya tak terlalu kuat dalam
menghafal, setoran pun sekenanya saja, pernah seminggu dapet 8 ayat, 2 hari
nyetor 5 ayat, dst. Namun untuk kedepannya harus bisa seminggu 20 ayat, ini
demi mengejar target bahwa bulan ini harus rampung semuanya, agar bisa
mendaftar ujian komprehensif di awal bulan Mei.
Dan siang tadi setelah menyetorkan hafalan ke
dosen wali, yang kebetulan beliau seorang Kajur (Ketua Jurusan) al-Ahwal
al-Syakhsiyyah, ku diajak beliau main pimpong di dalam fakultas. Memang biasanya
setiap habis dzuhur ketika waktu istirahat atau hari-hari libur, dosen beserta
pegawai lainnya kadang mengisi waktu dengan main tenis meja, sekedar untuk
olahraga ringan agar berkeringat, merenggangkan urat-urat yang tegang karena
lelah mengajar dan bekerja. Dengan sedikit ragu-ragu akupun mengambil pimpong
dan mulai bermain. Maklum, sudah beberapa tahun tak pernah berolahraga jenis
ini, dan memang tidak terlalu mahir. Apalagi sekarang bermain dengan Kajur yang
sekaligus menjadi dosen waliku, terasa semakin tegang tangan dan badanku. Beberapa
kali bola yang dilayangkan gagal ku umpan balik dan dengan senyum-senyum
sungkan campur malu ku ambil bola itu dan bermain lagi. Begitulah, berangsur-angsur
ku mulai terbiasa meski beliau tidak memainkannya dengan cepat, menyeimbangkan
permainanku. Dirasa sudah cukup, kami pun menghentikan permainan. Ini untuk pertama
kalinya ku bermain lepas tanpa beban dengan dosen, di fakultas lagi. Mungkin jika
diluar kampus atau lapangan olahraga tak mengapa, sudah biasa terjadi. Ya sudahlah,
memang semestinya ikatan guru dan murid harus seperti itu. Bisa menempatkan
kapan waktunya untuk benar-benar serius dalam belajar, menghormati dan patuh
sepenuhnya terhadap guru, dan adakalanya bercanda-tawa, sharing dan
membicarakan kehidupan sehari-hari layaknya seorang sahabat, namun harus tetap menjunjung
etika menghormati orang yang lebih tua. Mudah-mudahan dengan kedekatan murid pada
guru atau mahasiswa dengan dosennya bisa menjadikan ilmu yang didapat barokah,
bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain, dan yang terpenting adalah
dapat diamalkan. Âmîn...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
waktunya berdiskusi