BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Poligami merupakan isu klasik yang selalu menarik perhatian untuk diperbincangkan dan didiskusikan oleh kaum Adam apalagi kaum Hawa. Menarik bagi kaum Hawa, sebab jika poligami diperbolehkan itu berarti kaum Adam mendapatkan legitimasi syari'ah (baca: agama) untuk menikah lebih dari seorang istri. Sedangkan bagi sebagian besar kaum Hawa merupakan momok bahkan perkara yang paling pantang bagi mereka. Hal itu disebabkan karena umumnya karakteristik kaum Hawa tidak ingin diduakan dalam hidupnya. Kalimat yang sering kita dengarkan dari mereka adalah: "Perempuan mana yang mau dimadu?"
Sebenarnya, poligami sudah dikenal dan dipraktekkan oleh bangsa-bangsa kuno, seperti Athena, Cina, India, Babilonia, Asyiria dan Mesir Kuno. Pada bangsa-bangsa ini tidak ditemukan batasan maksimal dalam poligami. Contohnya, undang-undang Cina kuno mengizinkan laki-laki untuk mempunyai sampai 130 istri. Bahkan, seorang bangsawan Cina mempunyai 30.000 istri.
Dr. Mustafa Al-Siba'i selanjutnya mengatakan: "Agama Yahudi mengizinkan poligami dengan tanpa memberikan batasan maksimal. Semua nabi-nabi bangsa Yahudi bahkan mempunyai banyak istri. Disebutkan di dalam kitab Taurat bahwa Nabi Sulaiman mempunyai 700 istri yang merdeka dan 300 budak perempuan.
Musuh-musuh Islam, menjadikan isu poligami sebagai salah satu argumen untuk menuduh Islam sebagai agama yang mendiskriminasi kaum perempuan. Bahkan dalam satu situs JIL (Jaringan Islam Liberal) ditemukan sebuah artikel yang diberi judul: "Poligami sebagai Bentuk Kekerasan yang Paling Nyata atas Harkat dan Martabat Perempuan sebagai Manusia di dalam Hukum, Sosial Budaya dan Agama".
Sementara itu kalangan awam dari ummat Islam, sering membenturkan makna dua ayat yang dijadikan fokus pembahasan dalam makalah ini yaitu surat An Nisaa ayat 3 dan ayat 129. Ayat 3 dari surat An Nisa’ membolehkan poligami sampai empat tapi dengan syarat mampu berbuat adil, namun upaya berbuat adil itu tidaklah mungkin terwujud karena pada ayat 129 Allah SWT telah menafikannya dengan perkataan (yang artinya) adalah:
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian…."
Pemahaman seperti ini tidak saja dianut oleh sebagian besar kaum awam dalam Islam, tetapi juga tidak sedikit jumlahnya dari kalangan Da'i dan Muballigh yang berpemahaman seperti itu.
Sebagai salah satu bagian dari jihad fi sabilillah (al-Jihad bi al-Lisan), maka makalah ini berupaya meluruskan beberapa tuduhan-tuduhan keji dari musuh-musuh Islam dengan memanfaatkan isu poligami, serta berupaya meluruskan beberapa pemahaman yang keliru terhadap sistim poligami dalam Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka terdapat beberapa masalah yang perlu dibahas, yaitu :
1. Bagaimana Pengertian Poligami dan historisnya??
2. Bagaimana persepsi Negara-negara Muslim tentang Poligami?
3. Bagimana legistimasi poligami di Negara-negara muslim?
C. TUJUAN MASALAH
1. Menjelaskan tentang pengertian poligami dan historisnya
2. Menjelaskan persepsi Negara-negara muslim tentang poligami.
3. Menjelaskan legistimasi poligami di Negara-negara muslim
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Poligami dan Sejarahnya
Osman Raliby dalam Kamus Internasional sebagaimana dikutip oleh Sufyan Raji Abdullah, menjelaskan bahwa kata poligami berasal dari bahasa Yunani "polygamie", poly berarti banyak dan gamie berarti laki-laki. Jadi poligami berarti laki-laki yang beristri lebih dari satu orang wanita dalam satu ikatan perkawinan.
Drs.Sidi Ghazalba mengatakan bahwa:
"Poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu orang perempuan. Lawannya adalah poliandri, yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki. Sebenarnya istilah poligami itu mengandung pengertian poligini dan poliandri. Tetapi karena poligami lebih banyak dikenal terutama di Indonesia dan negara-negara yang memakai hukum Islam, maka tanggapan tentang poligini ialah poligami." Dalam bahasa Arab, poligami diistilahkan dengan al-Ta'addud.
Banyak orang salah paham tentang poligami. Mereka mengira poligami itu baru dikenal setelah islam. Mereka menganggap Islamlah yang membawa ajaran tentang poligami, bahkan ada yang secara ekstrim berpendapat bahwa jika bukan karena islam, poligami tidak dikenal dalam sejarah manusia. Pendapat demikian sungguh keliru dan menyesatkan. Mahmud Syaltut (w. 1963), ulama besar asal mesir,secara tegas menolak poligami sebagai bagian dari ajaran Islam, dan juga menolak bahwa poligami ditetapkan oleh Syariah.
Padahal sebelum datangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, praktek poligami sudah dikenal luas dan tidak terbatas pada beberapa orang istri saja. Para raja serta para kaisar dikalangan bangsa Romawi melakukan praktek poligami, seperti kaisar Sila mempunyai 5 orang istri (permaisuri) dan kaisar Bombay memiliki 4 orang istri. Sementara seorang bangsawan Cina kuno mempunyai istri sekitar 30.000 orang, padahal undang-undang Cina kuno hanya mengizinkan laki-laki untuk mempunyai istri sampai 130 orang.
Para nabi kaum Bani Isra'il selain nabi Isa 'Alaihi al-Salam juga berpoligami. Nabi Dawud 'Alaihi al-Salam beristri lebih dari dua orang. Nabi Ibrahim 'Alaihi al-Salam beristri 2 orang wanita. Nabi Ya'kub 'Alaihi al-Salam mempunyai istri 4 orang dan Nabi Sulaiman 'Alaihi al-Salam mempunyai 100 istri.
Dikalangan bangsa Arab Jahiliyah, poligami sangat membudaya, baik dikalangan bangsawan maupun dikalangan rakyat jelata. Poligami yang mereka praktekkan juga tidak ada batasannya. Sebagai bukti, adalah Qais bin Harits mempunyai 8 orang istri, Ghailan bin Umaiyyah mempunyai 15 orang istri, Naufal bim Mu'awiyah mempunyai 5 orang istri. Abdul Muthalib bin Hasyim mempunyai 6 orang istri, Abu Sufyan mempunyai 6 orang istri. Shafwan bin Umaiyyah mempunyai 6 orang istri. Demikian pernyataan Sufyan Raji Abdullah sebagaimana yang beliau kutip dari Al-Muhbir Ibnu Habib, h.357.Majma' Al-amtsal I/35.
Setelah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam diutus, maka praktek poligami diatur sedemikian rupa dan dibatasi sampai empat orang istri saja. Hal ini diatur dalam surat An-Nisaa ayat 3 dan Sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dari Harits bin Qais Radhiyallahu 'Anhu, berkata Musaddad ibn Umairah dan berkata Wahab al-Asady, ia berkata:
"Saya masuk Islam pada saat itu saya mempunyai 8 orang istri, maka hal itu saya beritakan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, maka beliau bersabda: "Pilihlah 4 orang istri saja diantara mereka".
Pada saat itu mereka yang masuk Islam dan mempraktekkan poligami lebih dari 4 orang istri, harus meninggalkan yang lainnya (thalaq) dan dibolehkan untuk menyisakan 4 orang saja.
Sejumlah riwayat menjelaskan bahwa setelah turun ayat yang membatasi jumlah istri hanya empat orang turun, yakni QS Al-nisa‘: (4):3. nabi segera memerintahkan semua laki-laki yang memiliki istri lebih dari empat agar menceraikan istri-istrinya sehingga setiap suami maksimal hanya boleh punya empat istri. Karena itu, Al-Aqqad ulama asal mesir, menyimpulkan bahwa islam tidak mengajarkan poligami, tidak juga memandang positif, apalagi mewajibkan,Islam hanya membolehkan dengan syarat yang sangat ketat. Sangat disesalkan bahwa dalam prakteknya di masyarakat, mayoritas umat islam hanya terpaku pada kebolehan poligami, tetapi mengabaikan sama sekali syarat yang ketat bagi kebolehanya itu.
B. Praktek Poligami di Negara-negar muslim
Poligami merupakan masalah yang paling banyak dikenakan pemberlakuan sanksi hukum oleh Hukum Keluarga di negara-negara Muslim modern. Di luar negara-negara yang memberlakukan aturan yang mempersulit ruang gerak poligami tanpa menjatuhkan sanksi hukum terhadap pelakunya, setidaknya 8 negara Muslim telah memberlakukan penjatuhan sanksi hukum terhadap masalah poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Kedelapan negara tersebut adalah Iran, Pakistan, Yaman (Selatan), Irak, Tunisia, Turki, Malaysia, dan Indonesia. Uraian lebih lanjut mengenai ketentuan kriminalisasi praktik poligami ini akan dipaparkan secara khusus dalam bahasan mendatang.
Secara umum ketentuan (perundang-undangan) berkaitan hukum keluarga di negara-negara Muslim modern, dikaitkan aturan poligami, dapat diklasifikasikan kepada kategori: pertama, negara-negara yang sama sekali melarang praktik poligami, seperti Turki dan Tunisia. Kedua, negara-negara yang yang membolehkan poligami dengan persyaratan yang relatif ketat (dipersulit), seperti Pakistan, Mesir, Maroko, Indonesia, dan Malaysia. Ketiga, negara-negara yang memperlakukan poligami secara lebih longgar, seperti Saudi Arabia, Iran, dan Qatar. Dari ketiga kategori tersebut, kategori kedua menjadi kecenderungan umum Hukum Keluarga di Dunia Islam. Pembatasan poligami yang dilakukan bersifat variatif, dari cara yang paling lunak sampai yang paling tegas. Sebagai contoh, di Libanon, berdasarkan hukum keluarga yang diberlakukan kerajaan Turki Usmani pada tahun 1917, poligami tidak dilarang namun diharapkan menerapkan prinsip keadilan kepada para istri. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Maroko berdasarkan UU Status Pribadi tahun 1958 yang berlaku di sana.
Cara lain bagi pembatasan poligami adalah dengan pembuatan perjanjian. Istri diberi hak untuk meminta suami ketika melangsungkan perkawinan agar membuat perjanjian bahwa jika ternyata nanti ia menikah lagi dengan wanita lain maka si istri dapat langsung meminta cerai kepada pengadilan atau dengan sendirinya jatuh talak satu apabila yang melanggar itu pihak istri. Hal ini disebutkan misalnya dalam pasal 19 Hukum Keluarga Yordania No. 61 tahun 1976 yang diubah dengan Hukum Keluarga Yordania No. 25 tahun 1977. Hal yang sama juga disebutkan dalam pasal 31 UU Status Pribadi Maroko tahun 1958.
Di samping itu, ada pula yang mempersyaratkan kondisi atau izin tertentu. Di Indonesia, contohnya, diatur dalam pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 40 dinyatakan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan.
Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya mempersulit terjadinya poligami, bahkan bagi pegawai negeri berdasarkan PP No. 10 tahun 1983, poligami praktis dilarang. Hal yang hampir sama berlaku di Pakistan, poligami hanya boleh dilakukan setelah mendapat izin dari istri pertama dan Dewan Hakam (arbitrer) yang dibentuk untuk menyelidiki hal itu. Bahkan bagi pelanggarnya, atas pengaduan, dapat dihukum penjara atau denda, atau malah kedua-duanya.
Seperti yang tampak pada contoh yang terakhir disebut ini, praktik poligami malah telah masuk kategori perbuatan yang dikenakan sanksi hukum tertentu. Dengan kata lain, sebagian negara-negara Muslim memberlakukan kriminalisasi praktik poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Sebagaimana telah disinggung dalam bahasan terdahulu, minimal tercatat 8 negara Muslim yang telah memberlakukan penjatuhan sanksi hukum terhadap masalah poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Kedelapan negara tersebut adalah Iran, Pakistan, Yaman (Selatan), Irak, Tunisia, Turki, Malaysia, dan Indonesia.
Khusus mengenai tiga negara pertama secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Iran
Di Iran, seorang suami yang ingin menikah lagi (berpoligami) maka wajib memenuhi dua hal: 1) Memberitahukan kepada calon istrinya bahwa ia sudah beristri.
2) Mendapat izin dari Pengadilan. Pelanggaran atas salah satu hal tersebut dapat mengakibatkan konsekuensi hukum. Berdasarkan Hukum Keluarga yang berlaku di Iran, poligami yang dilakukan dengan memalsukan keterangan atau tanpa pemberitahuan kepada calon istri tentang eksistensi perkawinan sebelumnya, dapat membuat pelakunya dijatuhi hukuman penjara 6 bulan – 2 tahun. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap pelaku poligami tanpa izin Pengadilan.
2. Pakistan
Di Pakistan, seseorang hanya dapat dibolehkan berpoligami jika telah mendapat izin tertulis dari Lembaga Arbitrase (Majelis Hakam). Perkawinan yang dilakukan tanpa izin tertulis lembaga tersebut akan mengakibatkan perkawinan itu tidak terdaftar menurut Undang-Undang.Bahkan lebih jauh, terhadap pelaku poligami tanpa izin lembaga arbitrase (arbitration council), dapat dijatuhi hukuman: a) wajib membayar segera seluruh jumlah mas kawin, baik kontan maupun bertempo (cicilan), kepada istri/para istrinya yang ada, jika jumlah itu tidak dibayar, maka ia dapat ditukar-alih sebagai tunggakan pajak tanah; b) atas dasar keyakinan terhadap pengaduan (dari pihak istri mengenai pelunasan mahar) maka pelaku poligami dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 1 tahun, atau dengan denda maksimal 5 ribu rupee, atau dengan keduanya sekaligus.
3. Yaman (selatan)
Sedangkan di Yaman (Selatan), bigami (beristri dua) hanya diperbolehkan setelah adanya izin tertulis dari Pengadilan, yang dapat diperoleh dengan alasan: 1) istri mandul yang dinyatakan oleh dokter dan tidak diketahui sebelumnya; atau 2) istri menderita penyakit kronis atau penyakit menular yang menurut medis tidak bisa disembuhkan, serta penyakit tersebut menghalangi kelangsungan kehidupan rumah tangga. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit larangan atau sanksi hukum dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan poligami, akan tetapi Hukum Keluarga yang diberlakun Yaman (Selatan) menggariskan ketentuan bahwa semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pelaku & pendukung) melakukan perkawinan atau mendaftarkan perkawinan yang bertentangan dengan UU No. 1/ 1974 (salah satunya mengenai bigami tanpa izin Pengadilan setempat), dapat dijatuhi hukuman berupa denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau kedua sekaligus. Dengan demikian berdasarkan Hukum Keluarga di Yaman (Selatan), poligami yang dilakukan tanpa izin dari Pengadilan setempat dipandang sebagai tindak kriminal yang dapat dijerat dengan sanksi hukum.
Adapun mengenai kriminalisasi poligami dalam Hukum Keluarga di lima negara yang terakhir disebut, yang menjadi model kajian ini, akan diuraikan secara lebih rinci dalam bahasan berikut:
4. Turki
Secara geografis, Republik Turki (Turkiye Cumhuriyeti) yang didirikan pada 29 Oktober 1923 ini terletak di kawasan Asia Kecil (97%) dan Eropa Tenggara. Di bagian barat berbatasan dengan Laut Aegean dan Yunani, dan di bagian Barat Laut berbatasan dengan wilayah Bulgaria. Di utara berbatasan dengan Laut Hitam. Di bagian Timur Laut berbatasan dengan Georgia, di bagian timur berbatasan dengan Armenia, dan di bagian tenggara berbatasan dengan Iran dan Irak. Sedangkan di selatan berbatasan dengan Syria dan Laut Tengah. Luas wilayah Turki meliputi 755.693 km2 di Asia Kecil (semenanjung Anatolia) dan 23.763 km2 di Eropa Tenggara, sehingga luas keseluruhan Turki adalah 779.456 km2.
Berdasarkan sensus 21 Oktober 1990, populasi penduduknya mencapai 56.473,035 jiwa yang menempati wilayah seluas 779, 456 km2. Mayoritas penduduk Turki adalah Muslim, sebagian besar beraliran Sunni, namun diperkirakan di sana juga terdapat sekitar 10 hingga 20 juta Muslim Syi’ah. Sedangkan sisanya adalah Yahudi, Ortodok Yunani, Ortodok Armenia, dan Kristen Assyria.
Sebagai sebuah negara pengganti yang tercipta dari reruntuhan Kesultanan Usmaniyah pasca Perang Dunia I, Turki menjadi negara sekular pertama di Dunia Muslim. Pembatalan syariat dan pengambilan sebuah sistem hukum sekular berdasarkan aturan–aturan hukum Barat, serta pendeklarasian sebuah republik sekular pada 1928, merupakan penyimpangan radikal dari tradisi.
Sebelum lahirnya kebijakan legislasi undang-undang--yang dikodifikasi secara eklektikal, mazhab Hanafi merupakan mazhab utama yang mendasari kehidupan keberagamaan tradisional Turki hingga tahun 1926. Adalah Undang-Undang Sipil Islam yang dikenal dengan Majallat al-ahkam al-‘adliyyah, sebagian materinya didasarkan pada mazhab Hanafi yang telah dipersiapkan di Turki sejak tahun 1876, sekalipun belum memuat hukum keluarga dan hukum waris di dalamnya. Hukum mengenai perkawinan dan perceraian sebagian dibuat pada tahun 1915 dan dikodifikasi pada tahun 1917. Revolusi politik di negara tersebut menyebabkan kehancuran Dinasti Ottoman sekaligus menghapus kekhalifahannya. Baik UU Sipil Islam 1876, berbagai hukum keluarga yang diberlakukan pada tahun 1915 dan tahun 1917, maupun hukum waris mazhab Hanafi non-kodifikasi, semuanya diganti oleh UU Sipil baru yang komprehensif yang diberlakukan pada tahun 1926.
Berdasarkan the Turkish Civil Code 1926, poligami sama sekali dilarang dan jika terjadi maka perkawinan tersebut dinyatakan tidak sah. UU Turki tersebut melarang perkawinan lebih dari satu selama perkawinan pertama masih berlangsung. Pasal 93 menegaskan bahwa seorang tidak dapat menikah, jika dia tidak dapat membuktikan bahwa perkawinan yang pertama bubar karena kematian, perceraian, atau pernyataan pembatalan. Kemudian dalam pasal 112 (1) dikemukakan bahwa perkawinan yang kedua dinyatakan tidak sah oleh pengadilan atas dasar bahwa orang tersebut telah berumah tangga saat menikah.
Ketentuan di atas juga dipertegas dalam the Turkish Family (Marriage and Divorce) Law of 1951. Dalam pasal 8 disebutkan:
“No person shall marry again unless he proves to the satisfaction of the Court that the former marriage has been declared invalid or void or has been dissolved by divorce or the death of the other party.”
Selanjutnya dalam pasal 19 (a) dinyatakan:
“A marriage shal be declared invalid where:
(a) at the date of the marriage one of parties is already married;”
Meskipun Turki tidak secara eksplisit menyebutkan bentuk sanksinya, namun secara implisit UU Turki menegaskan bahwa perkawinan poligami adalah tidak sah dan akan dikenai ancaman hukuman (penalty).
Dari ketentuan kriminalisasi praktik poligami di atas tampak jelas bahwa hukum positif yang berlaku di Turki telah mencitrakan deviasi yang signifikan dari ketentuan mazhab Hanafi bahkan hukum Islam (konvensional) dari berbagai mazhab yang ada. Ketidaksahan poligami merupakan hal baru yang belum pernah diwacanakan oleh kalangan ulama klasik. Pembolehan poligami oleh Alquran dalam kondisi tertentu telah dirubah oleh Muslim Turki. Alasannya, sebagaimana dinyatakan oleh beberapa tokoh intelektual Turki, bahwa legalisasi Alquran atas poligami merupakan “sebuah perbaikan besar terhadap praktik poligami tak terbatas pada masa Arab pra-Islam melalui cara monogami.” Perubahan kondisi sosial dan ekonomi di Turki telah membuat kondisi qur’ani poligami tidak dapat direalisasikan.
5. Tunisia
Tunisia merupakan negara berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Negara yang beribukotakan Tunis ini menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah muslim Sunni, bermazhab Maliki dan sebagian Hanafi, karena itu dalam persoalan perdata, kedua mazhab tersebut sama-sama dipergunakan. Namun banyak di antara berbagai dinasti yang pernah berkuasa di Tunisia baik asing maupun asli Tunisia memiliki keyakinan yang berbeda-beda, seperti Dinasti Syi’ah Fatimiyah sekitar abad X. Setelah dinasti ini tumbang, praktis kaum Syi’ah menjadi kelompok minoritas.
Demikian pula mazhab Hanafi yang membentuk minoritas kecil di Tunisia, namun memberi pengaruh penting di negeri ini sampai protektorat Perancis datang pada tahun 1883.
Langkah nasionalisme bangsa Tunisia dipelopori gerakan kalangan elit intelektual yang dikenal dengan Young Tunisans, yang bertujuan mengasimilasi (memadukan) peradaban Perancis sampai akhirnya mereka dapat mengatur negara mereka sendiri. Mereka menggerakkan semangat egalitarisme, namun Perancis tidak menanggapinya secara serius. Langkah yang lebih serius dalam gerakan dasar nasionalis yang terjadi hanya sesaat sebelum dan sesudah Perang Dunia I dalam sebuah gerakan yang dipimpin oleh Abd al-Aziz Thaalbi. Langkah ketiga datang pada tahun 1930-an saat seorang pengacara muda, Habib Bourguiba, memutuskan hubungan dengan DESTOUR PARTY dan memproklamasikan Neo-Destour. Prancis mengakui otonomi Tunisia pada tahun 1955 dan kemerdekaannya pada Maret 1956. Pada tahun 1957 negara Tunisia memilih Bourguiba sebagai presiden pertamanya.
Setelah merdeka pada 20 Maret 1956, Tunisia segera menyusun berbagai pembaharuan dan kodifikasi hukum berdasarkan mazhab Maliki dan Hanafi. Upaya pembaharuan ini didasarkan pada penafsiran liberal terhadap Syariah, terutama yang berkaitan dengan hukum keluarga. Lahirlah Majallat al-Ahwal asy-Syak¡iyyah yang kontroversial.
Di bawah kepemimpinan Presiden Habib Bourguiba Tunisia menjadi negara Arab pertama yang melarang poligami. Majallat itu sendiri mencakup materi hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak, yang berbeda dengan ketetapan hukum Islam klasik. Pada perkembangan selanjutnya, Majallat atau Undang-Undang Status Personal tahun 1956 ini telah mengalami beberapa kali perubahan, penambahan, dan modifikasi lebih jauh melalui amandemen Undang-undang sampai dengan tahun 1981.
Selanjutnya pemerintah Tunisia pada saat itu membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh al-Islam yaitu Muhammad Ju‘ayad untuk memberlakukan undang-undang secara resmi. Syekh Universitas Zaituna juga ikut berpartisipasi dalam komite tersebut. Dengan menggunakan sumber-sumber yang diperoleh, dari hasil-hasil komite Lai’hat, hukum keluarga ala Mesir, Yordania, Syiria, dan Turki Usmani. Komite tersebut mengajukan rancangan undang-undang hukum keluarga kepada pemerintah, dan akhirnya diberlakukanlah undang-undang tersebut pada tahun 1956.
Undang-Undang tersebut terdiri dari 167 pasal yang ditulis dalam 10 jilid yang dianggap cukup komprehensif, meskipun belum memuat undang-undang mengenai kewarisan. Undang-undang ini telah mengalami tujuh kali amandemen selama periode 1958-1966. Terakhir kali Undang-Undang ini diamandemen pada tahun 1981 (UU No. 7/1981), yang memperkenalkan beberapa modifikasi penting dari undang-undang sebelumnya.
Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut, yaitu:
1) Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki;
2) Untuk penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri;
3) Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;
4) Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik;
5) Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas;
Undang-Undang Tunisa tersebut berlaku bagi semua warga negara Tunisia, khususnya setelah tercapai kesepakatan dengan Perancis pada 1 Juli 1957. dari berbagai pembaharuan yang terdapat dalam UU baru ini, ada dua hal yang (awalnya) mendapat respon negatif dari sejumlah kalangan, yaitu larangan poligami dan keharusan perceraian di pengadilan.
Berkaitan dengan kriminalisasi poligami di Tunisia, pasal 18 menyatakan:
a. Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.
b. Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak pernikahan kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama.
c. Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman yang sama.
UU mengenai Status Perorangan tahun 1957 Tunisia di atas secara tegas menetapkan bahwa poligami dilarang. Larangan ini konon mempunyai landasan hukum pada ayat lain dalam Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya (Q.S. an-Nisa [4] : 3). Ternyata, baik dari pengalaman maupun pernyataan wahyu (Q.S. an-Nisa [4]: 128), keadilan yang dimaksud tidak akan dapat dipenuhi. Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqah±’ salaf, dengan alasan cukup masuk akal, menyatakan bahwa Alquran tidak dapat begitu saja dianggap bertentangan dengan diri sendiri; dan, karena itu, keadilan yang dituntut oleh “ayat poligami” tersebut harus ditafsirkan sebagai hal-hal yang dapat dilakukan oleh suami, dan bukan perasaan batin (cinta)nya.
Ada dua alasan yang dikemukakan Tunisia melarang poligami: pertama, bahwa institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan atau masa transisi umat Islam, tetapi dilarang pada masa perkembangan atau masyarakat berbudaya; dan kedua, bahwa syarat mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri, sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi saw. yang mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.
Sebelum kehadiran hukum ini para kadi di Tunisia terdiri dari kadi-kadi bermazhab Hanafi dan bermazhab Maliki, meskipun rakyat pada umumnya menganut mazhab Maliki. Namun sekarang hukum baru yang bercorak eklektik ini justeru dinyatakan berlaku bagi semua orang Islam (dan lebih lanjut telah diterima oleh dan dinyatakan berlaku bagi orang-orang Yahudi), sehingga semua mahkamah dijadikan satu jenis dan semua jurisdiksi peradilan berada di tangan pengadilan-pengadilan nasional.
Presiden Bourguiba secara terang-terangan menyatakan bahwa “ide-ide yang berlaku di masa lampau, pada saat sekarang ternyata bertentangan dengan hati nurani manusia—misalnya tentang poligami dan perceraian yang sekarang diatur dengan hukum baru itu, dan juga semua masalah yang muncul dalam kehidupan moderin saat ini.” Ia menyatakan bahwa Islam telah membebaskan jiwa dan menyuruh manusia untuk meninjau kembali hukum-hukum agama sehingga mereka dapat menyesuaikannya dengan kemajuan yang dicapai manusia. Pernyataan ini jelas jauh berbeda dengan pandangan-pandangan dari kalangan Salaf.
Selain itu, para reformis di Tunisia menegaskan bahwa di samping seorang suami harus memiliki kemampuan finansial untuk menghidupi para istri, Alquran juga mensyaratkan pelaku poligami harus dapat berlaku adil kepada mereka. Aturan Alquran ini juga harus ditafsirkan, tidak hanya sekedar sebuah desakan moral, namun merupakan preseden kondisi hukum bagi poligami, dalam artian bahwa tidak satupun perkawinan kedua dapat diizinkan kecuali dan sampai terbukti dapat berlaku sama (egaliter) dimana para istri diperlakukan dengan adil. Namun melihat kondisi sosial dan ekonomi modern sepertinya sikap adil merupakan suatu hal yang mustahil. Ketika kondisi dasar poligami tidak dapat terpenuhi Hukum Tunisia secara singkat menyatakan “poligami adalah dilarang.”
Tunisia dapat dianggap contoh terdepan bagaimana, pasca 1945, pembaruan cenderung lebih didasarkan pada hal yang dinyatakan sebagai hak negara Muslim, lewat penguasanya, untuk berijtihad. Tunisia menghapus hak poligami melalui Pasal 18 UU Status Personal Tunisia 1956, yang didasarkan pada penafsiran ulang Surat an-Nisa ayat Tunisia menyamakan keadilan tidak saja dengan nafkah (topangan finansial), namun juga dengan cinta dan kasih sayang. Dinyatakan pula bahwa hanya Nabi saw. yang dapat berlaku adil kepada dua orang stri dengan cara demikian; oleh karena itu, dalm kondisi sekarang, anggapan tak terbantahkannya adalah bahwa seorang suami muslim tidak mungkin memenuhi persyaratan Alquran.
Apa yang dilakukan oleh Tunisia dengan menerapkan UU tersebut, menurut Atho Mudzhar sebagaimana dikutip Fauzul Iman, bukan berarti telah keluar dari hukum Islam, akan tetapi lebih dilihat dari apa yang melatarbelakangi lahirnya UU tersebut. Antara tahun 1885 sampai tahun 1912, sekitar 3000 anak Tunisia dikirim untuk belajar ke Paris, meskipun pada saat yang sama orang-orang Perancis melakukan kolonisasi di Tunisia. Pada tahun 1906 tercatat 34.000 orang Perancis tinggal di Tunisia dan angka itu melonjak menjadi 144.000 pada tahun 1945.
Mereka memperkenalkan pertanian dan pendidikan modern kepada masyarakat Tunisia. Di pihak lain orang Tunisia juga belajar ke Paris, setelah kembali mereka melakukan pembaharuan pendidikan melalui Zaituna dan Sadi College yang kemudian melahirkan Khalduniyyah College—yang menjadi pusat gerakan”The Young Tunisians”.Jadi terobosan yang dilakukan Tunisia tampaknya tak lebih dari revolusi interpretasi “fikih baru” dari sebuah negara yang sedang gencar-gencarnya mengadakan pembaharuan di berbagai dimensi kehidupan masyarakatnya.
6. Syiria
Pasal 17 UU kehakiman Syiria memperbolehkan poligami. Hal ini menunjuk pada keterangan imam Syafi’I yang memperbolehkan menikah lebih dari 1 isteri, dengan memperhatikan syarat-syarat tertentu. Pasal 17 menyebutkan bahwa Qadhi berkuasa penuh untuk menentukan kelayakan seseorang berpoligami. Dia akan menanyakan kemampuan financial seseorang sebelum menikah untuk kedua kalinya. Pernyataan ini berdasarkan dalil al-qur’an yang menyebutkan dibolehkannya poligami
7. Irak
Irak merupakan negara yang menganut sistem hukum campuran yang diinspirasi dua aliran, fikih Sunni dan Syi‘i, sebagai landasan hukum yang diterapkan di Pengadilan Syariah. Pada abad ke-17, Iraq yang merupakan tempat lahirnya mazhab Hanafi, masih berada di bawah kekuasaan dan hukum Imperium Ottoman. Mulai 1850 sejumlah hukum sipil, pidana, dagang, diadopsi oleh Imperium Ottoman berdasarkan model Eropa (terutama Perancis), namun Undang-Undang OLFR yang diberlakukan pada tahun 1917 tersebut tidak pernah dimplementasikan di Irak akibat hilangnya pengaruh imperium dan hadirnya kekuatan Inggris di sana.
Pemerintahan Inggris sendiri tidak mengadopsinya dikarenakan tidak mencitrakan hukum dan adat setempat di samping dalam realitasnya Irak dipengaruhi oleh hukum Sunni dan Syi‘i dalam proporsi yang berimbang.Pada tahun 1921, Raja Faisal mendirikan sebuah kerajaan monarki Irak dengan kemerdekaan penuh diraih pada 1932. Melalui sebuah kudeta militer pada tahun 1958 kerajaan monarki akhirnya digantikan dengan berdirinya republik Irak.
Hukum yang berhubungan dengan poligami sebagaimana yang diberlakukan saat ini di Irak terdapat dalam the Iraqi Law of Personal Status 1959 senada dengan Amendment Law 1963 yang memodifikasi pasal 13 dari Undang-Undang tersebut. Menurut pasal 4 dan 5, seorang pria yang ingin menikah lagi (bigami) harus meminta izin dari Pengadilan. Pengadilan akan memberikan izin kepadanya berdasarkan tiga syarat: pertama, ia harus memiliki kemampuan finansial menafkahi lebih dari satu orang istri sekaligus; kedua, terdapat kepentingan yang sah secara hukum (kemaslahatan syar‘i) melalui perkawinan kedua; ketiga, tidak ada kekhawatiran terjadinya perlakuan tidak adil terhadap para istri.
Setiap pria yang berpoligami namun tidak dapat memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 1000 dinar; atau kedua-duanya (pasal 6). ketentuan-ketentuan pasal 4 dan 5 dipandang tidak berlaku bagi mereka yang berpoligami dimana wanita yang dinikahinya tersebut adalah janda. Sedangkan dalam pasal 7 ditegaskan bahwa bagi mereka yang menikah (berpoligami) tanpa ada izin dari pengadilan akan dijatuhi hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 5 tahun.
Jika diperhatikan dari ketentuan pasal di atas, dapat dikatakan pada prinsipnya ketentuan tersebut merupakan pengembangan lebih jauh dari pemikiran mazhab-mazhab Sunni maupun Syi‘i yang dikombinasikan dengan hasil reinterpretasi ayat-ayat Alquran seputar poligami. Pengecualian poligami bagi para janda, contohnya, didasari pada tujuan poligami yang dimaksud Alquran, yakni memelihara dan menjamin anak yatim dan janda.
8. Malaysia
Malaysia merupakan salah satu negara di AsiaTenggara dengan wilayah territorial berada di bagian Selatan semenanjung Melayu dan bagian Utara pulau Kalimantan. Negara federasi dengan ibu kota Kuala Lumpur ini meliputi 13 negara bagian: 11 negara bagian Semenanjung Melayu dan 2 negara bagian Sarawak dan Sabah di Kalimantan, dengan populasi penduduk 21.169.000 jiwa (sensus 1996) terdiri dari 58 % etnis Melayu dimana hampir keseluruhannya adalah beragama Islam, 27 % etnis Cina, 8 % etnis India, dan sisanya etnis pribumi (suku asli).
Sebelum kehadiran penjajah, hukum yang berlaku di Malaysia adalah hukum Islam bercampur hukum adat. Namun selama masa pemerintahan kolonial Inggris, nafas Islam telah mewarnai berbagai kebijakan legislatif lokal yang berhubungan dengan fungsi-fungsi negara, keberadaan dan prosesi lembaga peradilan Syariah untuk menerapkan hukum Islam dan regulasi adiministrasi institusi social-legal Islam diberlakukan di seluruh negeri tersebut, seperti hukum perkawinan, hukum perceraian, dan hukum waris. Kondisi ini terus berlanjut di saat Malaysia memperoleh kemerdekaannya.
Setelah Malaysia memperoleh kemerdekaannya, konstitusi federal Malaysia tahun 1957 begitu juga konstitusi federal tahun 1963 mendeklarasikan agama Islam sebagai agama resmi negara. Di negeri yang bermazhab Syafi’i ini, hukum Islam dan administrasinya diberlakukan secara resmi di seluruh wilayah negara Malaysia meliputi Perak, Selangor, Negeri Sembilan, Pahang, Kelantan, Trengganu, Kedah, dan Johor. Pada dua negara bagian, Sabah dan Sarawak, penduduk Muslim merupakan minoritas. Sabah yang memiliki jumlah penduduk Muslim lebih sedikit dari Sarawak, memakai adiministrasi hukum Islam pada tahun 1971. Sedangkan Sarawak masih menerapkan Undang-Undang Mahkamah Melayu tahun 1915. Hukuman negara-negara bagian di Malaysia memuat ketetapan hukum keluarga melalui pengadilan-pengadilan kathis.
Dalam konteks reformasi Hukum Keluarga khususnya di rantau Asia Tenggara—boleh jadi malah skup Dunia Muslim—sebetulnya Malaysia tercatat sebagai negara pertama melakukan langkah ini, ditandai oleh lahirnya Mohammedan Marriage Ordinance, No. V Tahun 1880 di negara-negara Selat (Pulau Pinang, Malak, dan Singapura). Dilanjutkan wilayah negara-negara Melayu Bersekutu (Perak, Selangor, Negeri Sembilan, dan Pahang) melalui Registration of Muhammadan Marriages and Divorces Enactment 1885, kemudian bagi negara-negara Melayu tidak bersekutu atau negara-negara Bernaung (Kelantan, Terengganu, Perlis, Kedah, dan Johor), yang dipelopori oleh Kelantan adalah The Divorce Regulation Tahun 1907.
Namun demikian, jika dilihat dari era pasca berakhirnya kolonialisme dan imperialisme di seluruh Dunia, perundang-undangan Malaysia telah mengalami beberapa kali pembaharuan. Taher Mahmood mencatat bahwa pembaharuan pertama berlangsung pada tahun 1976-1980 yang berisi tentang perkawinan dan perceraian. Sedangkan pembaharuan kedua dilaksanakan pada tahun 1983-1985 yang diberi nama Islamic Family Law Act. Hukum baru ini berlaku pada tahun 1983 di Kelantan, Negeri Sembilan, dan Malaka. Kemudian tahun 1984 dilaksanakan di Kedah, Selangor, dan wilayah Persekutuan, serta tahun 1985 dilaksanakan di Penang. Dalam perkembangan terakhir pembaharuan juga terjadi di Terengganu (1985), Pahang 1987 (No. 3), Selangor 1989 (No.2), Johor (1990), Sarawak (1991), Perlis, dan terakhir Sabah melalui UU No. 18 tahun 1992.
Mengenai kriminalisasi poligami dalam hukum positif di Malaysia, antara lain tergambar dalam UU Hukum Keluarga Islam [Wilayah Federal] 1984 (UU 304 tahun 1984). Dalam pasal 123 disebutkan:
Any man who, during the subsistence of a marriage, contracts another marriage in any place without the prior permission in writing of the court commits an offence and shall be punished with a fine not exceeding one thousand ringgit or with imprisonment not exceeding six months or with both such fine and imprisonment.
Pasal di atas menegaskan bahwa seorang pria yang masih terikat dalam suatu perkawinan hanya dapat berpoligami jika telah mendapat izin tertulis dari pengadilan, bagi mereka yang melanggar ketentuan ini akan dijatuhi hukuman denda maksimal 1000 ringgit; atau dipenjara maksimal 6 bulan; atau dijatuhi hukuman keduanya sekaligus.
Pemberian izin poligami oleh pengadilan amat terkait dengan hasil pertimbangan institusi tersebut terhadap keterangan yang diberikan pemohon dan para istri yang lebih dahulu dinikahinya. Dasar pertimbangan pengadilan untuk memberikan izin poligami berkaitan dengan kondisi/prilaku istri dan suami. Dari sudut istri adalah: 1) Kemandulan; 2) Keuzuran jasmani; 3) Tidak layak dari segi jasmani untuk bersetubuh; 4) Sengaja tidak mau memulihkan hak-hak persetubuhan, atau 5) Sakit jiwa/ gila. Sedangkan pertimbangan pada sudut suami adalah: 1) Mampu secara ekonomi untuk menanggung istri-istri dan anak keturunan, 2) Mampu berlaku adil kepada para istri 3) Perkawinan itu tidak menyebabkan bahaya bagi agama, nyawa, badan, akal pikiran atau harta benda istri yang telah lebih dahulu dinikahi, 4) Perkawinan itu tidak akan menyebabkan turunnya martabat istri-istri atau orang-orang yang terkait dengan perkawinan, langsung atau tidak.
Secara umum Hukum Keluarga Malaysia tampaknya masih berpegang pada konsepsi mazhab-mazhab Sunni, utamanya mazhab Syafi‘i, dalam hal kebolehan poligami. Ditetapkannya sejumlah alasan poligami terlihat diinspirasi oleh konsepsi fikih mengenai kewajiban suami atas istri dan alasan terjadinya fasakh. Sementara peran pengadilan dalam pemberian izin poligami dan kriminalisasi poligami merupakan bagian dari bentuk siyasah syariah yang bertujuan mengantisipasi dan memberi daya jera terhadap penyalahgunaan poligami. Di samping itu penafsiran baru terhadap pesan Alquran terkait masalah poligami dan langkah perlindungan pada kaum wanita juga menjadi bagian
9. Indonesia.
Di dalam Undang-undang Perkawinan pada masa penjajahan Hindia-Belanda masalah poligami sama sekali tidak diatur. demikian pula pada masa awal kemerdekaan dimana masalah perkawinan diatur dalam UU no 22/1946 yang kemudian disempurnakan dalam UU no 32 tahun 1954 yang hanya mengatur masalah
pencatatan nikah , talak dan rujuk.
Isu pengaturan masalah poligami dalam sistim hukum dan perundangan di Indonesia pertama kali mengemuka pada Kongres Wanita Indonesia pertama yang diadakan pada bulan Desember 1928 yang diprakasai oleh Aisyiyah sayap perempuan dari pergerakan Muhammadiyah dan diikuti oleh sekitar 30 an organisasi perempuan.
Selain isu poligami ,isu perkawinan di bawah umur dan kawin paksa juga menjadi
perhatian anggota kongres. istri Sedar sebuah organisasi perempuan berhaluan kiri yang
kemudian menjadi cikal bakal GERWANI menolak ikut dalam kongres ini sebagai bentuk penentangannya dan penolakannya untuk berkompromi dalam isu poligami (Saskia Wieringa , 1998)
Memasuki era kemerdekaan , wacana anti poligami mendapat batu sandungan yang serius ketika Soekarno Presiden Indonesia saat itu melakukan praktek polgaminya yang pertama dengan Hartini pada tahun 1954.Organisasi perempuan sayap kiri Gerwani yang sebelumnya sangat menentang hal ini bahkan menolak segala bentuk kompromi
dalam isu poligami , ketika dihadapkan pada kasus ini condong bersikap agak lunak akibat pilihan politik para pemimpinnya kepada sosok Soekarno , bahkan tuntutan Gerwani tentang masalah poligami dalam isu pembuatan RUU Perkawinan akhirnya semakin melemah,bahkan di tahun 1964 isu ini kemudian dihilangkan (Saskia Wieringa,
1998 : 28)
Salah satu organisasi perempuan yang secara keras menentang perilaku presiden Soekarno adalah Perwari (PersatuanWanita Republik Indonesia) yang notabene adalah sebuah organisasi perempuan pro pemerintah yang anggotanya kebanyakan adalah istri-istri para pejabat sipil dan militer dimana mereka juga mendukung Fatmawati untuk bercerai dengan Soekarno.
Beberapa organisasi perempuan terutama yang berhaluan nasionalis dan sosialis seperti Gerakan Wanita Marhaenis juga ikut menggugat praktek poligami yang dilakukan
Soekarno.Dan sikap Perwari dan beberapa organisasi perempuan ini dibayar dengan dicabutnya berbagai fasilitas yang sebelumnya dinikmati mereka dari pemerintah.bahkan lebih jauh lagi gerakan penentangan terhadap praktek poligami yang dilakukan Soekarno kemudian diposisikan sebagai gerakan Kontra-Revolusioner . Ketua umum Gerwani pada pidatonya di tahun 1964 mengecam sikap Perwari itu sebagai sebuah sikap yang hanya memperjuangkan kepentingan nyonya nyonya pejabat tinggi dan merupakan serangan terhadap pribadi Sokarno dan serangan itu harus di jawab karena merupakan bentuk
upaya kontra-revolusioner .
Sementara itu gerakan-gerakan perempuan Islam condong mendiamkan praktek poligami yang dilakukan Soekarno tersebut.Perkawinan Soekarno ini adalah tamparan kedua bagi kelompok perempuan kontra poligami setelah pada tahun 1952 pemerintah
mengeluarkan keputusan no 19 tahun 1952 yang memberi gaji dua kali lipat bagi pegawai yang berpoligami selain juga tunjangan pensiun bagi janda poligami juga diberikan dua kali lipat yang dibagikan secara merata kepada masing-masing janda.
Keputusan ini menjadi tamparan keras bagi kelompok perempuan di Komisi Perkawinan yang dibentuk tahun 1950 dan sedang menyusun draft RUU Perkawinan yang menyatakan poligami hanya diizinkan dengan persyaratan-persyaratan yang keras.
Keputusan pemerintah itu mendapat dukungan di kalangan Islam yang diwakili
oleh Masyumi dan Partai NU.Organisasi perempuan Islam seperti Fatayat NU juga secara tegas menyatakan dukungannya.
Memasuki era pemerintahan Presiden Soeharto , pembahasan RUU Perkawinan yang tertunda akibat gejolak politik pada pemerintahan sebelumnya akhirnya diteruskan.Pembahasan RUU ini memanas ketika fraksi Islam PPP walk out dari sidang menolak RUU versi kaum nasionalis yang didukung oleh Fraksi Golkar dan Partai
Demokrasi Indonesia.Inti penolakan mereka adalah pasal 11 ayat (2) RUU itu yang mengadopsi pasal 7 GHR yang membolehkan perkawinan antar agama.
Puncak krisis terjadi ketika massa pemuda Islam menduduki gedung Parlemen ketika sidang akan mengesahkan RUU tersebut.Jend Soemitro pada saat itu langsung turun tangan dan menemui Presiden Soeharto dengan membawa draft RUU versi PPP yang kemudian ditandatangai dan disyahkan menjadi UU no 1/1974 seperti yang berlaku sekarang.
Yang menarik adalah dalam UU tersebut masalah poligami diatur lebih ketat dari RUU versi kelompok Islam pada masa era Soekarno. Salah satunya adalah mensyaratkan adanya izin dari istri sebelumnya. Menanggapi kontroversi dalam masalah ini K.H Ibrahim Hosen menyatakan bahwa masalah izin itu tidak diatur dalam hukum agama jadi hukumnya mubah tapi penguasa sebagai pihak yang memiliki peranan untuk membentuk hukum Islam bisa merubahnya menjadi wajib atau haram (Tempo ,14 Mei 1983).
Pemberlakuan aturan yang lebih ketat terhadap praktek poligami ini merupakan solusi atau jalan tengah yang ditawarkan kelompok Islam terhadap tekanan sejumlah fihak yang menghendaki dihapuskannya pasal poligami dalam RUU Perkawinan.
Akan tetapi karena tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelanggaran aturan dalam UU Perkawinan pasal 3 dan 4 yang mengatur masalah poligami ini maka aturan itu seringkali diabaikan.Bahkan dari 4500 kasus poligami yang ditangani Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga 50 % nya dilakukan oleh kalangan pejabat dan pegawai negri sipil (Fokus , 12 Mei 1983) Hal inilah yang kemudian mendorong sejumlah ibu-ibu pejabat mendesak diterbitkannya PP no 10/1983 yang mengatur masalah Izin Perkawinan dan Perceraian bagi pegawai negri sipil dimana
pengaturan praktek poligami bagi kalangan pejabat dan pegawai negri sipil semakin diperketat.
Dengan diterbitkannya PP no 10/1083 ini maka menurut Ny Suprapti Soeprapto payung pelindung bagi istri pegawai negri makin kokoh (Tempo 14 Mei 1983) Akan tetapi masalah izin istri ini kemudian dilemahkan dengan terbitnya Kompilasi Hukum Islam Indonesia melalui Inpres no 1 tahun 1991 dimana dalam pasal 59 KHII yang menyatakan
"Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satunn alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama,
dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atauAttention:- kasasi"Pasal ini memberi otoritas bagi Pengadilan agama untuk member izin berpoligami bagi seorang suami walaupun istri tidak mengizinkannya.
Tapi kelemahan utama dari UU maupun peraturan yang mengatur masalah perkawinan adalah tidak adanya tindakan hukum yang tegas yang mengatur masalah sanksi bagi pelaku perkawinan bawah tangan.Padahal pelaku poligami di Indonesia sebagian besarnya melakukannya secara bawah tangan / sirri dan ini juga menyebabkan
mereka secara legal formal lepas dari kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana yang diatur UU.
Fatwa MUI beberapa waktu lalu yang mensahkan kawin sirri semakin memperburuk masalah ini. Jadi kampanye perombakan UU Perkawinan juga KHII untuk
memperketat syarat-syarat poligami bahkan menghapuskan poligami sama sekali tidak akan memiliki kekuatan bila praktek perkawinan bawah tangan tidak dianggap sebagai tindak pelanggaran hukum di negri ini.
Padahal perkawinan bawah tangan baik monogami maupun poligami mengakibatkan hak hak istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menjadi terabaikan.Selain itu tanpa adanya sanksi terhadap pelanggaran pasal-pasal dalam UU Perkawinan membuat UU ini seperti macan kertas saja.Padahal keberadaan UU ini mutlak diperlukan untuk menjamin hak-hak warga negara.
Prosedur Poligami
Mengenai prosedur atau tata cara dalam poligami yang resmi diatur oleh islam memang tidak ada ketentuan secara pasti, namun di Indonesia, dengan Kompilasi Hukum Islamnya, telah mengatur hal tersebut.
1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama, yang pengajuannya telah diatur dengan peraturan pemerintah.
2. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pengadilan agama hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari satu orang apabila,
a. Istri tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Disamping syarat-syarat tersebut diatas, maka untuk memenuhi perolehan izin pengadilan agama harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak mereka
Persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan pada sidang pengadilan agama.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Poligami adalah perkawinan seorang lelaki dengan lebih dari satu orang wanita, yang sudah dikenal luas dan dipraktekkan oleh ummat terdahulu di berbagai belahan dunia tanpa mengenal pembatasan. Sesudah diutusnya Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam, praktek poligami hanya dibolehkan sampai empat orang istri dengan syarat sang suami dapat berlaku adil (adil lahiriyah) kepada seluruh istri-istrinya.
2. Adanya berbagai persepsi yang keliru di kalangan ummat tentang poligami diakibatkan karena jauhnya mereka dari ajaran Islam yang murni dari Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam seperti yang dipahami oleh para Ulama kita yang sholih dan istiqamah. Penyebab yang lainnya adalah hawa nafsu dan sifat apriori dengan poligami.
3. Musuh-musuh Islam memanfaatkan isu poligami untuk menyerang Islam dengan berbagai tuduhan-tuduhan keji. Dimana tuduhan-tuduhan tersebut bersumber dari kebencian dan ada indikasi ketidak jujuran dalam memandang isu ini.
4. Allah menetapkan syari'atnya dengan berbagai hikmah dan manfaat termasuk poligami memiliki berbagai hikmah dan manfaat
Wallahu Ta'ala A'lam
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Poligami merupakan isu klasik yang selalu menarik perhatian untuk diperbincangkan dan didiskusikan oleh kaum Adam apalagi kaum Hawa. Menarik bagi kaum Hawa, sebab jika poligami diperbolehkan itu berarti kaum Adam mendapatkan legitimasi syari'ah (baca: agama) untuk menikah lebih dari seorang istri. Sedangkan bagi sebagian besar kaum Hawa merupakan momok bahkan perkara yang paling pantang bagi mereka. Hal itu disebabkan karena umumnya karakteristik kaum Hawa tidak ingin diduakan dalam hidupnya. Kalimat yang sering kita dengarkan dari mereka adalah: "Perempuan mana yang mau dimadu?"
Sebenarnya, poligami sudah dikenal dan dipraktekkan oleh bangsa-bangsa kuno, seperti Athena, Cina, India, Babilonia, Asyiria dan Mesir Kuno. Pada bangsa-bangsa ini tidak ditemukan batasan maksimal dalam poligami. Contohnya, undang-undang Cina kuno mengizinkan laki-laki untuk mempunyai sampai 130 istri. Bahkan, seorang bangsawan Cina mempunyai 30.000 istri.
Dr. Mustafa Al-Siba'i selanjutnya mengatakan: "Agama Yahudi mengizinkan poligami dengan tanpa memberikan batasan maksimal. Semua nabi-nabi bangsa Yahudi bahkan mempunyai banyak istri. Disebutkan di dalam kitab Taurat bahwa Nabi Sulaiman mempunyai 700 istri yang merdeka dan 300 budak perempuan.
Musuh-musuh Islam, menjadikan isu poligami sebagai salah satu argumen untuk menuduh Islam sebagai agama yang mendiskriminasi kaum perempuan. Bahkan dalam satu situs JIL (Jaringan Islam Liberal) ditemukan sebuah artikel yang diberi judul: "Poligami sebagai Bentuk Kekerasan yang Paling Nyata atas Harkat dan Martabat Perempuan sebagai Manusia di dalam Hukum, Sosial Budaya dan Agama".
Sementara itu kalangan awam dari ummat Islam, sering membenturkan makna dua ayat yang dijadikan fokus pembahasan dalam makalah ini yaitu surat An Nisaa ayat 3 dan ayat 129. Ayat 3 dari surat An Nisa’ membolehkan poligami sampai empat tapi dengan syarat mampu berbuat adil, namun upaya berbuat adil itu tidaklah mungkin terwujud karena pada ayat 129 Allah SWT telah menafikannya dengan perkataan (yang artinya) adalah:
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian…."
Pemahaman seperti ini tidak saja dianut oleh sebagian besar kaum awam dalam Islam, tetapi juga tidak sedikit jumlahnya dari kalangan Da'i dan Muballigh yang berpemahaman seperti itu.
Sebagai salah satu bagian dari jihad fi sabilillah (al-Jihad bi al-Lisan), maka makalah ini berupaya meluruskan beberapa tuduhan-tuduhan keji dari musuh-musuh Islam dengan memanfaatkan isu poligami, serta berupaya meluruskan beberapa pemahaman yang keliru terhadap sistim poligami dalam Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka terdapat beberapa masalah yang perlu dibahas, yaitu :
1. Bagaimana Pengertian Poligami dan historisnya??
2. Bagaimana persepsi Negara-negara Muslim tentang Poligami?
3. Bagimana legistimasi poligami di Negara-negara muslim?
C. TUJUAN MASALAH
1. Menjelaskan tentang pengertian poligami dan historisnya
2. Menjelaskan persepsi Negara-negara muslim tentang poligami.
3. Menjelaskan legistimasi poligami di Negara-negara muslim
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Poligami dan Sejarahnya
Osman Raliby dalam Kamus Internasional sebagaimana dikutip oleh Sufyan Raji Abdullah, menjelaskan bahwa kata poligami berasal dari bahasa Yunani "polygamie", poly berarti banyak dan gamie berarti laki-laki. Jadi poligami berarti laki-laki yang beristri lebih dari satu orang wanita dalam satu ikatan perkawinan.
Drs.Sidi Ghazalba mengatakan bahwa:
"Poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu orang perempuan. Lawannya adalah poliandri, yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki. Sebenarnya istilah poligami itu mengandung pengertian poligini dan poliandri. Tetapi karena poligami lebih banyak dikenal terutama di Indonesia dan negara-negara yang memakai hukum Islam, maka tanggapan tentang poligini ialah poligami." Dalam bahasa Arab, poligami diistilahkan dengan al-Ta'addud.
Banyak orang salah paham tentang poligami. Mereka mengira poligami itu baru dikenal setelah islam. Mereka menganggap Islamlah yang membawa ajaran tentang poligami, bahkan ada yang secara ekstrim berpendapat bahwa jika bukan karena islam, poligami tidak dikenal dalam sejarah manusia. Pendapat demikian sungguh keliru dan menyesatkan. Mahmud Syaltut (w. 1963), ulama besar asal mesir,secara tegas menolak poligami sebagai bagian dari ajaran Islam, dan juga menolak bahwa poligami ditetapkan oleh Syariah.
Padahal sebelum datangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, praktek poligami sudah dikenal luas dan tidak terbatas pada beberapa orang istri saja. Para raja serta para kaisar dikalangan bangsa Romawi melakukan praktek poligami, seperti kaisar Sila mempunyai 5 orang istri (permaisuri) dan kaisar Bombay memiliki 4 orang istri. Sementara seorang bangsawan Cina kuno mempunyai istri sekitar 30.000 orang, padahal undang-undang Cina kuno hanya mengizinkan laki-laki untuk mempunyai istri sampai 130 orang.
Para nabi kaum Bani Isra'il selain nabi Isa 'Alaihi al-Salam juga berpoligami. Nabi Dawud 'Alaihi al-Salam beristri lebih dari dua orang. Nabi Ibrahim 'Alaihi al-Salam beristri 2 orang wanita. Nabi Ya'kub 'Alaihi al-Salam mempunyai istri 4 orang dan Nabi Sulaiman 'Alaihi al-Salam mempunyai 100 istri.
Dikalangan bangsa Arab Jahiliyah, poligami sangat membudaya, baik dikalangan bangsawan maupun dikalangan rakyat jelata. Poligami yang mereka praktekkan juga tidak ada batasannya. Sebagai bukti, adalah Qais bin Harits mempunyai 8 orang istri, Ghailan bin Umaiyyah mempunyai 15 orang istri, Naufal bim Mu'awiyah mempunyai 5 orang istri. Abdul Muthalib bin Hasyim mempunyai 6 orang istri, Abu Sufyan mempunyai 6 orang istri. Shafwan bin Umaiyyah mempunyai 6 orang istri. Demikian pernyataan Sufyan Raji Abdullah sebagaimana yang beliau kutip dari Al-Muhbir Ibnu Habib, h.357.Majma' Al-amtsal I/35.
Setelah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam diutus, maka praktek poligami diatur sedemikian rupa dan dibatasi sampai empat orang istri saja. Hal ini diatur dalam surat An-Nisaa ayat 3 dan Sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dari Harits bin Qais Radhiyallahu 'Anhu, berkata Musaddad ibn Umairah dan berkata Wahab al-Asady, ia berkata:
"Saya masuk Islam pada saat itu saya mempunyai 8 orang istri, maka hal itu saya beritakan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, maka beliau bersabda: "Pilihlah 4 orang istri saja diantara mereka".
Pada saat itu mereka yang masuk Islam dan mempraktekkan poligami lebih dari 4 orang istri, harus meninggalkan yang lainnya (thalaq) dan dibolehkan untuk menyisakan 4 orang saja.
Sejumlah riwayat menjelaskan bahwa setelah turun ayat yang membatasi jumlah istri hanya empat orang turun, yakni QS Al-nisa‘: (4):3. nabi segera memerintahkan semua laki-laki yang memiliki istri lebih dari empat agar menceraikan istri-istrinya sehingga setiap suami maksimal hanya boleh punya empat istri. Karena itu, Al-Aqqad ulama asal mesir, menyimpulkan bahwa islam tidak mengajarkan poligami, tidak juga memandang positif, apalagi mewajibkan,Islam hanya membolehkan dengan syarat yang sangat ketat. Sangat disesalkan bahwa dalam prakteknya di masyarakat, mayoritas umat islam hanya terpaku pada kebolehan poligami, tetapi mengabaikan sama sekali syarat yang ketat bagi kebolehanya itu.
B. Praktek Poligami di Negara-negar muslim
Poligami merupakan masalah yang paling banyak dikenakan pemberlakuan sanksi hukum oleh Hukum Keluarga di negara-negara Muslim modern. Di luar negara-negara yang memberlakukan aturan yang mempersulit ruang gerak poligami tanpa menjatuhkan sanksi hukum terhadap pelakunya, setidaknya 8 negara Muslim telah memberlakukan penjatuhan sanksi hukum terhadap masalah poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Kedelapan negara tersebut adalah Iran, Pakistan, Yaman (Selatan), Irak, Tunisia, Turki, Malaysia, dan Indonesia. Uraian lebih lanjut mengenai ketentuan kriminalisasi praktik poligami ini akan dipaparkan secara khusus dalam bahasan mendatang.
Secara umum ketentuan (perundang-undangan) berkaitan hukum keluarga di negara-negara Muslim modern, dikaitkan aturan poligami, dapat diklasifikasikan kepada kategori: pertama, negara-negara yang sama sekali melarang praktik poligami, seperti Turki dan Tunisia. Kedua, negara-negara yang yang membolehkan poligami dengan persyaratan yang relatif ketat (dipersulit), seperti Pakistan, Mesir, Maroko, Indonesia, dan Malaysia. Ketiga, negara-negara yang memperlakukan poligami secara lebih longgar, seperti Saudi Arabia, Iran, dan Qatar. Dari ketiga kategori tersebut, kategori kedua menjadi kecenderungan umum Hukum Keluarga di Dunia Islam. Pembatasan poligami yang dilakukan bersifat variatif, dari cara yang paling lunak sampai yang paling tegas. Sebagai contoh, di Libanon, berdasarkan hukum keluarga yang diberlakukan kerajaan Turki Usmani pada tahun 1917, poligami tidak dilarang namun diharapkan menerapkan prinsip keadilan kepada para istri. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Maroko berdasarkan UU Status Pribadi tahun 1958 yang berlaku di sana.
Cara lain bagi pembatasan poligami adalah dengan pembuatan perjanjian. Istri diberi hak untuk meminta suami ketika melangsungkan perkawinan agar membuat perjanjian bahwa jika ternyata nanti ia menikah lagi dengan wanita lain maka si istri dapat langsung meminta cerai kepada pengadilan atau dengan sendirinya jatuh talak satu apabila yang melanggar itu pihak istri. Hal ini disebutkan misalnya dalam pasal 19 Hukum Keluarga Yordania No. 61 tahun 1976 yang diubah dengan Hukum Keluarga Yordania No. 25 tahun 1977. Hal yang sama juga disebutkan dalam pasal 31 UU Status Pribadi Maroko tahun 1958.
Di samping itu, ada pula yang mempersyaratkan kondisi atau izin tertentu. Di Indonesia, contohnya, diatur dalam pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 40 dinyatakan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan.
Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya mempersulit terjadinya poligami, bahkan bagi pegawai negeri berdasarkan PP No. 10 tahun 1983, poligami praktis dilarang. Hal yang hampir sama berlaku di Pakistan, poligami hanya boleh dilakukan setelah mendapat izin dari istri pertama dan Dewan Hakam (arbitrer) yang dibentuk untuk menyelidiki hal itu. Bahkan bagi pelanggarnya, atas pengaduan, dapat dihukum penjara atau denda, atau malah kedua-duanya.
Seperti yang tampak pada contoh yang terakhir disebut ini, praktik poligami malah telah masuk kategori perbuatan yang dikenakan sanksi hukum tertentu. Dengan kata lain, sebagian negara-negara Muslim memberlakukan kriminalisasi praktik poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Sebagaimana telah disinggung dalam bahasan terdahulu, minimal tercatat 8 negara Muslim yang telah memberlakukan penjatuhan sanksi hukum terhadap masalah poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Kedelapan negara tersebut adalah Iran, Pakistan, Yaman (Selatan), Irak, Tunisia, Turki, Malaysia, dan Indonesia.
Khusus mengenai tiga negara pertama secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Iran
Di Iran, seorang suami yang ingin menikah lagi (berpoligami) maka wajib memenuhi dua hal: 1) Memberitahukan kepada calon istrinya bahwa ia sudah beristri.
2) Mendapat izin dari Pengadilan. Pelanggaran atas salah satu hal tersebut dapat mengakibatkan konsekuensi hukum. Berdasarkan Hukum Keluarga yang berlaku di Iran, poligami yang dilakukan dengan memalsukan keterangan atau tanpa pemberitahuan kepada calon istri tentang eksistensi perkawinan sebelumnya, dapat membuat pelakunya dijatuhi hukuman penjara 6 bulan – 2 tahun. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap pelaku poligami tanpa izin Pengadilan.
2. Pakistan
Di Pakistan, seseorang hanya dapat dibolehkan berpoligami jika telah mendapat izin tertulis dari Lembaga Arbitrase (Majelis Hakam). Perkawinan yang dilakukan tanpa izin tertulis lembaga tersebut akan mengakibatkan perkawinan itu tidak terdaftar menurut Undang-Undang.Bahkan lebih jauh, terhadap pelaku poligami tanpa izin lembaga arbitrase (arbitration council), dapat dijatuhi hukuman: a) wajib membayar segera seluruh jumlah mas kawin, baik kontan maupun bertempo (cicilan), kepada istri/para istrinya yang ada, jika jumlah itu tidak dibayar, maka ia dapat ditukar-alih sebagai tunggakan pajak tanah; b) atas dasar keyakinan terhadap pengaduan (dari pihak istri mengenai pelunasan mahar) maka pelaku poligami dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 1 tahun, atau dengan denda maksimal 5 ribu rupee, atau dengan keduanya sekaligus.
3. Yaman (selatan)
Sedangkan di Yaman (Selatan), bigami (beristri dua) hanya diperbolehkan setelah adanya izin tertulis dari Pengadilan, yang dapat diperoleh dengan alasan: 1) istri mandul yang dinyatakan oleh dokter dan tidak diketahui sebelumnya; atau 2) istri menderita penyakit kronis atau penyakit menular yang menurut medis tidak bisa disembuhkan, serta penyakit tersebut menghalangi kelangsungan kehidupan rumah tangga. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit larangan atau sanksi hukum dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan poligami, akan tetapi Hukum Keluarga yang diberlakun Yaman (Selatan) menggariskan ketentuan bahwa semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pelaku & pendukung) melakukan perkawinan atau mendaftarkan perkawinan yang bertentangan dengan UU No. 1/ 1974 (salah satunya mengenai bigami tanpa izin Pengadilan setempat), dapat dijatuhi hukuman berupa denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau kedua sekaligus. Dengan demikian berdasarkan Hukum Keluarga di Yaman (Selatan), poligami yang dilakukan tanpa izin dari Pengadilan setempat dipandang sebagai tindak kriminal yang dapat dijerat dengan sanksi hukum.
Adapun mengenai kriminalisasi poligami dalam Hukum Keluarga di lima negara yang terakhir disebut, yang menjadi model kajian ini, akan diuraikan secara lebih rinci dalam bahasan berikut:
4. Turki
Secara geografis, Republik Turki (Turkiye Cumhuriyeti) yang didirikan pada 29 Oktober 1923 ini terletak di kawasan Asia Kecil (97%) dan Eropa Tenggara. Di bagian barat berbatasan dengan Laut Aegean dan Yunani, dan di bagian Barat Laut berbatasan dengan wilayah Bulgaria. Di utara berbatasan dengan Laut Hitam. Di bagian Timur Laut berbatasan dengan Georgia, di bagian timur berbatasan dengan Armenia, dan di bagian tenggara berbatasan dengan Iran dan Irak. Sedangkan di selatan berbatasan dengan Syria dan Laut Tengah. Luas wilayah Turki meliputi 755.693 km2 di Asia Kecil (semenanjung Anatolia) dan 23.763 km2 di Eropa Tenggara, sehingga luas keseluruhan Turki adalah 779.456 km2.
Berdasarkan sensus 21 Oktober 1990, populasi penduduknya mencapai 56.473,035 jiwa yang menempati wilayah seluas 779, 456 km2. Mayoritas penduduk Turki adalah Muslim, sebagian besar beraliran Sunni, namun diperkirakan di sana juga terdapat sekitar 10 hingga 20 juta Muslim Syi’ah. Sedangkan sisanya adalah Yahudi, Ortodok Yunani, Ortodok Armenia, dan Kristen Assyria.
Sebagai sebuah negara pengganti yang tercipta dari reruntuhan Kesultanan Usmaniyah pasca Perang Dunia I, Turki menjadi negara sekular pertama di Dunia Muslim. Pembatalan syariat dan pengambilan sebuah sistem hukum sekular berdasarkan aturan–aturan hukum Barat, serta pendeklarasian sebuah republik sekular pada 1928, merupakan penyimpangan radikal dari tradisi.
Sebelum lahirnya kebijakan legislasi undang-undang--yang dikodifikasi secara eklektikal, mazhab Hanafi merupakan mazhab utama yang mendasari kehidupan keberagamaan tradisional Turki hingga tahun 1926. Adalah Undang-Undang Sipil Islam yang dikenal dengan Majallat al-ahkam al-‘adliyyah, sebagian materinya didasarkan pada mazhab Hanafi yang telah dipersiapkan di Turki sejak tahun 1876, sekalipun belum memuat hukum keluarga dan hukum waris di dalamnya. Hukum mengenai perkawinan dan perceraian sebagian dibuat pada tahun 1915 dan dikodifikasi pada tahun 1917. Revolusi politik di negara tersebut menyebabkan kehancuran Dinasti Ottoman sekaligus menghapus kekhalifahannya. Baik UU Sipil Islam 1876, berbagai hukum keluarga yang diberlakukan pada tahun 1915 dan tahun 1917, maupun hukum waris mazhab Hanafi non-kodifikasi, semuanya diganti oleh UU Sipil baru yang komprehensif yang diberlakukan pada tahun 1926.
Berdasarkan the Turkish Civil Code 1926, poligami sama sekali dilarang dan jika terjadi maka perkawinan tersebut dinyatakan tidak sah. UU Turki tersebut melarang perkawinan lebih dari satu selama perkawinan pertama masih berlangsung. Pasal 93 menegaskan bahwa seorang tidak dapat menikah, jika dia tidak dapat membuktikan bahwa perkawinan yang pertama bubar karena kematian, perceraian, atau pernyataan pembatalan. Kemudian dalam pasal 112 (1) dikemukakan bahwa perkawinan yang kedua dinyatakan tidak sah oleh pengadilan atas dasar bahwa orang tersebut telah berumah tangga saat menikah.
Ketentuan di atas juga dipertegas dalam the Turkish Family (Marriage and Divorce) Law of 1951. Dalam pasal 8 disebutkan:
“No person shall marry again unless he proves to the satisfaction of the Court that the former marriage has been declared invalid or void or has been dissolved by divorce or the death of the other party.”
Selanjutnya dalam pasal 19 (a) dinyatakan:
“A marriage shal be declared invalid where:
(a) at the date of the marriage one of parties is already married;”
Meskipun Turki tidak secara eksplisit menyebutkan bentuk sanksinya, namun secara implisit UU Turki menegaskan bahwa perkawinan poligami adalah tidak sah dan akan dikenai ancaman hukuman (penalty).
Dari ketentuan kriminalisasi praktik poligami di atas tampak jelas bahwa hukum positif yang berlaku di Turki telah mencitrakan deviasi yang signifikan dari ketentuan mazhab Hanafi bahkan hukum Islam (konvensional) dari berbagai mazhab yang ada. Ketidaksahan poligami merupakan hal baru yang belum pernah diwacanakan oleh kalangan ulama klasik. Pembolehan poligami oleh Alquran dalam kondisi tertentu telah dirubah oleh Muslim Turki. Alasannya, sebagaimana dinyatakan oleh beberapa tokoh intelektual Turki, bahwa legalisasi Alquran atas poligami merupakan “sebuah perbaikan besar terhadap praktik poligami tak terbatas pada masa Arab pra-Islam melalui cara monogami.” Perubahan kondisi sosial dan ekonomi di Turki telah membuat kondisi qur’ani poligami tidak dapat direalisasikan.
5. Tunisia
Tunisia merupakan negara berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Negara yang beribukotakan Tunis ini menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah muslim Sunni, bermazhab Maliki dan sebagian Hanafi, karena itu dalam persoalan perdata, kedua mazhab tersebut sama-sama dipergunakan. Namun banyak di antara berbagai dinasti yang pernah berkuasa di Tunisia baik asing maupun asli Tunisia memiliki keyakinan yang berbeda-beda, seperti Dinasti Syi’ah Fatimiyah sekitar abad X. Setelah dinasti ini tumbang, praktis kaum Syi’ah menjadi kelompok minoritas.
Demikian pula mazhab Hanafi yang membentuk minoritas kecil di Tunisia, namun memberi pengaruh penting di negeri ini sampai protektorat Perancis datang pada tahun 1883.
Langkah nasionalisme bangsa Tunisia dipelopori gerakan kalangan elit intelektual yang dikenal dengan Young Tunisans, yang bertujuan mengasimilasi (memadukan) peradaban Perancis sampai akhirnya mereka dapat mengatur negara mereka sendiri. Mereka menggerakkan semangat egalitarisme, namun Perancis tidak menanggapinya secara serius. Langkah yang lebih serius dalam gerakan dasar nasionalis yang terjadi hanya sesaat sebelum dan sesudah Perang Dunia I dalam sebuah gerakan yang dipimpin oleh Abd al-Aziz Thaalbi. Langkah ketiga datang pada tahun 1930-an saat seorang pengacara muda, Habib Bourguiba, memutuskan hubungan dengan DESTOUR PARTY dan memproklamasikan Neo-Destour. Prancis mengakui otonomi Tunisia pada tahun 1955 dan kemerdekaannya pada Maret 1956. Pada tahun 1957 negara Tunisia memilih Bourguiba sebagai presiden pertamanya.
Setelah merdeka pada 20 Maret 1956, Tunisia segera menyusun berbagai pembaharuan dan kodifikasi hukum berdasarkan mazhab Maliki dan Hanafi. Upaya pembaharuan ini didasarkan pada penafsiran liberal terhadap Syariah, terutama yang berkaitan dengan hukum keluarga. Lahirlah Majallat al-Ahwal asy-Syak¡iyyah yang kontroversial.
Di bawah kepemimpinan Presiden Habib Bourguiba Tunisia menjadi negara Arab pertama yang melarang poligami. Majallat itu sendiri mencakup materi hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak, yang berbeda dengan ketetapan hukum Islam klasik. Pada perkembangan selanjutnya, Majallat atau Undang-Undang Status Personal tahun 1956 ini telah mengalami beberapa kali perubahan, penambahan, dan modifikasi lebih jauh melalui amandemen Undang-undang sampai dengan tahun 1981.
Selanjutnya pemerintah Tunisia pada saat itu membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh al-Islam yaitu Muhammad Ju‘ayad untuk memberlakukan undang-undang secara resmi. Syekh Universitas Zaituna juga ikut berpartisipasi dalam komite tersebut. Dengan menggunakan sumber-sumber yang diperoleh, dari hasil-hasil komite Lai’hat, hukum keluarga ala Mesir, Yordania, Syiria, dan Turki Usmani. Komite tersebut mengajukan rancangan undang-undang hukum keluarga kepada pemerintah, dan akhirnya diberlakukanlah undang-undang tersebut pada tahun 1956.
Undang-Undang tersebut terdiri dari 167 pasal yang ditulis dalam 10 jilid yang dianggap cukup komprehensif, meskipun belum memuat undang-undang mengenai kewarisan. Undang-undang ini telah mengalami tujuh kali amandemen selama periode 1958-1966. Terakhir kali Undang-Undang ini diamandemen pada tahun 1981 (UU No. 7/1981), yang memperkenalkan beberapa modifikasi penting dari undang-undang sebelumnya.
Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut, yaitu:
1) Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki;
2) Untuk penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri;
3) Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;
4) Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik;
5) Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas;
Undang-Undang Tunisa tersebut berlaku bagi semua warga negara Tunisia, khususnya setelah tercapai kesepakatan dengan Perancis pada 1 Juli 1957. dari berbagai pembaharuan yang terdapat dalam UU baru ini, ada dua hal yang (awalnya) mendapat respon negatif dari sejumlah kalangan, yaitu larangan poligami dan keharusan perceraian di pengadilan.
Berkaitan dengan kriminalisasi poligami di Tunisia, pasal 18 menyatakan:
a. Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.
b. Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak pernikahan kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama.
c. Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman yang sama.
UU mengenai Status Perorangan tahun 1957 Tunisia di atas secara tegas menetapkan bahwa poligami dilarang. Larangan ini konon mempunyai landasan hukum pada ayat lain dalam Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya (Q.S. an-Nisa [4] : 3). Ternyata, baik dari pengalaman maupun pernyataan wahyu (Q.S. an-Nisa [4]: 128), keadilan yang dimaksud tidak akan dapat dipenuhi. Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqah±’ salaf, dengan alasan cukup masuk akal, menyatakan bahwa Alquran tidak dapat begitu saja dianggap bertentangan dengan diri sendiri; dan, karena itu, keadilan yang dituntut oleh “ayat poligami” tersebut harus ditafsirkan sebagai hal-hal yang dapat dilakukan oleh suami, dan bukan perasaan batin (cinta)nya.
Ada dua alasan yang dikemukakan Tunisia melarang poligami: pertama, bahwa institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan atau masa transisi umat Islam, tetapi dilarang pada masa perkembangan atau masyarakat berbudaya; dan kedua, bahwa syarat mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri, sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi saw. yang mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.
Sebelum kehadiran hukum ini para kadi di Tunisia terdiri dari kadi-kadi bermazhab Hanafi dan bermazhab Maliki, meskipun rakyat pada umumnya menganut mazhab Maliki. Namun sekarang hukum baru yang bercorak eklektik ini justeru dinyatakan berlaku bagi semua orang Islam (dan lebih lanjut telah diterima oleh dan dinyatakan berlaku bagi orang-orang Yahudi), sehingga semua mahkamah dijadikan satu jenis dan semua jurisdiksi peradilan berada di tangan pengadilan-pengadilan nasional.
Presiden Bourguiba secara terang-terangan menyatakan bahwa “ide-ide yang berlaku di masa lampau, pada saat sekarang ternyata bertentangan dengan hati nurani manusia—misalnya tentang poligami dan perceraian yang sekarang diatur dengan hukum baru itu, dan juga semua masalah yang muncul dalam kehidupan moderin saat ini.” Ia menyatakan bahwa Islam telah membebaskan jiwa dan menyuruh manusia untuk meninjau kembali hukum-hukum agama sehingga mereka dapat menyesuaikannya dengan kemajuan yang dicapai manusia. Pernyataan ini jelas jauh berbeda dengan pandangan-pandangan dari kalangan Salaf.
Selain itu, para reformis di Tunisia menegaskan bahwa di samping seorang suami harus memiliki kemampuan finansial untuk menghidupi para istri, Alquran juga mensyaratkan pelaku poligami harus dapat berlaku adil kepada mereka. Aturan Alquran ini juga harus ditafsirkan, tidak hanya sekedar sebuah desakan moral, namun merupakan preseden kondisi hukum bagi poligami, dalam artian bahwa tidak satupun perkawinan kedua dapat diizinkan kecuali dan sampai terbukti dapat berlaku sama (egaliter) dimana para istri diperlakukan dengan adil. Namun melihat kondisi sosial dan ekonomi modern sepertinya sikap adil merupakan suatu hal yang mustahil. Ketika kondisi dasar poligami tidak dapat terpenuhi Hukum Tunisia secara singkat menyatakan “poligami adalah dilarang.”
Tunisia dapat dianggap contoh terdepan bagaimana, pasca 1945, pembaruan cenderung lebih didasarkan pada hal yang dinyatakan sebagai hak negara Muslim, lewat penguasanya, untuk berijtihad. Tunisia menghapus hak poligami melalui Pasal 18 UU Status Personal Tunisia 1956, yang didasarkan pada penafsiran ulang Surat an-Nisa ayat Tunisia menyamakan keadilan tidak saja dengan nafkah (topangan finansial), namun juga dengan cinta dan kasih sayang. Dinyatakan pula bahwa hanya Nabi saw. yang dapat berlaku adil kepada dua orang stri dengan cara demikian; oleh karena itu, dalm kondisi sekarang, anggapan tak terbantahkannya adalah bahwa seorang suami muslim tidak mungkin memenuhi persyaratan Alquran.
Apa yang dilakukan oleh Tunisia dengan menerapkan UU tersebut, menurut Atho Mudzhar sebagaimana dikutip Fauzul Iman, bukan berarti telah keluar dari hukum Islam, akan tetapi lebih dilihat dari apa yang melatarbelakangi lahirnya UU tersebut. Antara tahun 1885 sampai tahun 1912, sekitar 3000 anak Tunisia dikirim untuk belajar ke Paris, meskipun pada saat yang sama orang-orang Perancis melakukan kolonisasi di Tunisia. Pada tahun 1906 tercatat 34.000 orang Perancis tinggal di Tunisia dan angka itu melonjak menjadi 144.000 pada tahun 1945.
Mereka memperkenalkan pertanian dan pendidikan modern kepada masyarakat Tunisia. Di pihak lain orang Tunisia juga belajar ke Paris, setelah kembali mereka melakukan pembaharuan pendidikan melalui Zaituna dan Sadi College yang kemudian melahirkan Khalduniyyah College—yang menjadi pusat gerakan”The Young Tunisians”.Jadi terobosan yang dilakukan Tunisia tampaknya tak lebih dari revolusi interpretasi “fikih baru” dari sebuah negara yang sedang gencar-gencarnya mengadakan pembaharuan di berbagai dimensi kehidupan masyarakatnya.
6. Syiria
Pasal 17 UU kehakiman Syiria memperbolehkan poligami. Hal ini menunjuk pada keterangan imam Syafi’I yang memperbolehkan menikah lebih dari 1 isteri, dengan memperhatikan syarat-syarat tertentu. Pasal 17 menyebutkan bahwa Qadhi berkuasa penuh untuk menentukan kelayakan seseorang berpoligami. Dia akan menanyakan kemampuan financial seseorang sebelum menikah untuk kedua kalinya. Pernyataan ini berdasarkan dalil al-qur’an yang menyebutkan dibolehkannya poligami
7. Irak
Irak merupakan negara yang menganut sistem hukum campuran yang diinspirasi dua aliran, fikih Sunni dan Syi‘i, sebagai landasan hukum yang diterapkan di Pengadilan Syariah. Pada abad ke-17, Iraq yang merupakan tempat lahirnya mazhab Hanafi, masih berada di bawah kekuasaan dan hukum Imperium Ottoman. Mulai 1850 sejumlah hukum sipil, pidana, dagang, diadopsi oleh Imperium Ottoman berdasarkan model Eropa (terutama Perancis), namun Undang-Undang OLFR yang diberlakukan pada tahun 1917 tersebut tidak pernah dimplementasikan di Irak akibat hilangnya pengaruh imperium dan hadirnya kekuatan Inggris di sana.
Pemerintahan Inggris sendiri tidak mengadopsinya dikarenakan tidak mencitrakan hukum dan adat setempat di samping dalam realitasnya Irak dipengaruhi oleh hukum Sunni dan Syi‘i dalam proporsi yang berimbang.Pada tahun 1921, Raja Faisal mendirikan sebuah kerajaan monarki Irak dengan kemerdekaan penuh diraih pada 1932. Melalui sebuah kudeta militer pada tahun 1958 kerajaan monarki akhirnya digantikan dengan berdirinya republik Irak.
Hukum yang berhubungan dengan poligami sebagaimana yang diberlakukan saat ini di Irak terdapat dalam the Iraqi Law of Personal Status 1959 senada dengan Amendment Law 1963 yang memodifikasi pasal 13 dari Undang-Undang tersebut. Menurut pasal 4 dan 5, seorang pria yang ingin menikah lagi (bigami) harus meminta izin dari Pengadilan. Pengadilan akan memberikan izin kepadanya berdasarkan tiga syarat: pertama, ia harus memiliki kemampuan finansial menafkahi lebih dari satu orang istri sekaligus; kedua, terdapat kepentingan yang sah secara hukum (kemaslahatan syar‘i) melalui perkawinan kedua; ketiga, tidak ada kekhawatiran terjadinya perlakuan tidak adil terhadap para istri.
Setiap pria yang berpoligami namun tidak dapat memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 1000 dinar; atau kedua-duanya (pasal 6). ketentuan-ketentuan pasal 4 dan 5 dipandang tidak berlaku bagi mereka yang berpoligami dimana wanita yang dinikahinya tersebut adalah janda. Sedangkan dalam pasal 7 ditegaskan bahwa bagi mereka yang menikah (berpoligami) tanpa ada izin dari pengadilan akan dijatuhi hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 5 tahun.
Jika diperhatikan dari ketentuan pasal di atas, dapat dikatakan pada prinsipnya ketentuan tersebut merupakan pengembangan lebih jauh dari pemikiran mazhab-mazhab Sunni maupun Syi‘i yang dikombinasikan dengan hasil reinterpretasi ayat-ayat Alquran seputar poligami. Pengecualian poligami bagi para janda, contohnya, didasari pada tujuan poligami yang dimaksud Alquran, yakni memelihara dan menjamin anak yatim dan janda.
8. Malaysia
Malaysia merupakan salah satu negara di AsiaTenggara dengan wilayah territorial berada di bagian Selatan semenanjung Melayu dan bagian Utara pulau Kalimantan. Negara federasi dengan ibu kota Kuala Lumpur ini meliputi 13 negara bagian: 11 negara bagian Semenanjung Melayu dan 2 negara bagian Sarawak dan Sabah di Kalimantan, dengan populasi penduduk 21.169.000 jiwa (sensus 1996) terdiri dari 58 % etnis Melayu dimana hampir keseluruhannya adalah beragama Islam, 27 % etnis Cina, 8 % etnis India, dan sisanya etnis pribumi (suku asli).
Sebelum kehadiran penjajah, hukum yang berlaku di Malaysia adalah hukum Islam bercampur hukum adat. Namun selama masa pemerintahan kolonial Inggris, nafas Islam telah mewarnai berbagai kebijakan legislatif lokal yang berhubungan dengan fungsi-fungsi negara, keberadaan dan prosesi lembaga peradilan Syariah untuk menerapkan hukum Islam dan regulasi adiministrasi institusi social-legal Islam diberlakukan di seluruh negeri tersebut, seperti hukum perkawinan, hukum perceraian, dan hukum waris. Kondisi ini terus berlanjut di saat Malaysia memperoleh kemerdekaannya.
Setelah Malaysia memperoleh kemerdekaannya, konstitusi federal Malaysia tahun 1957 begitu juga konstitusi federal tahun 1963 mendeklarasikan agama Islam sebagai agama resmi negara. Di negeri yang bermazhab Syafi’i ini, hukum Islam dan administrasinya diberlakukan secara resmi di seluruh wilayah negara Malaysia meliputi Perak, Selangor, Negeri Sembilan, Pahang, Kelantan, Trengganu, Kedah, dan Johor. Pada dua negara bagian, Sabah dan Sarawak, penduduk Muslim merupakan minoritas. Sabah yang memiliki jumlah penduduk Muslim lebih sedikit dari Sarawak, memakai adiministrasi hukum Islam pada tahun 1971. Sedangkan Sarawak masih menerapkan Undang-Undang Mahkamah Melayu tahun 1915. Hukuman negara-negara bagian di Malaysia memuat ketetapan hukum keluarga melalui pengadilan-pengadilan kathis.
Dalam konteks reformasi Hukum Keluarga khususnya di rantau Asia Tenggara—boleh jadi malah skup Dunia Muslim—sebetulnya Malaysia tercatat sebagai negara pertama melakukan langkah ini, ditandai oleh lahirnya Mohammedan Marriage Ordinance, No. V Tahun 1880 di negara-negara Selat (Pulau Pinang, Malak, dan Singapura). Dilanjutkan wilayah negara-negara Melayu Bersekutu (Perak, Selangor, Negeri Sembilan, dan Pahang) melalui Registration of Muhammadan Marriages and Divorces Enactment 1885, kemudian bagi negara-negara Melayu tidak bersekutu atau negara-negara Bernaung (Kelantan, Terengganu, Perlis, Kedah, dan Johor), yang dipelopori oleh Kelantan adalah The Divorce Regulation Tahun 1907.
Namun demikian, jika dilihat dari era pasca berakhirnya kolonialisme dan imperialisme di seluruh Dunia, perundang-undangan Malaysia telah mengalami beberapa kali pembaharuan. Taher Mahmood mencatat bahwa pembaharuan pertama berlangsung pada tahun 1976-1980 yang berisi tentang perkawinan dan perceraian. Sedangkan pembaharuan kedua dilaksanakan pada tahun 1983-1985 yang diberi nama Islamic Family Law Act. Hukum baru ini berlaku pada tahun 1983 di Kelantan, Negeri Sembilan, dan Malaka. Kemudian tahun 1984 dilaksanakan di Kedah, Selangor, dan wilayah Persekutuan, serta tahun 1985 dilaksanakan di Penang. Dalam perkembangan terakhir pembaharuan juga terjadi di Terengganu (1985), Pahang 1987 (No. 3), Selangor 1989 (No.2), Johor (1990), Sarawak (1991), Perlis, dan terakhir Sabah melalui UU No. 18 tahun 1992.
Mengenai kriminalisasi poligami dalam hukum positif di Malaysia, antara lain tergambar dalam UU Hukum Keluarga Islam [Wilayah Federal] 1984 (UU 304 tahun 1984). Dalam pasal 123 disebutkan:
Any man who, during the subsistence of a marriage, contracts another marriage in any place without the prior permission in writing of the court commits an offence and shall be punished with a fine not exceeding one thousand ringgit or with imprisonment not exceeding six months or with both such fine and imprisonment.
Pasal di atas menegaskan bahwa seorang pria yang masih terikat dalam suatu perkawinan hanya dapat berpoligami jika telah mendapat izin tertulis dari pengadilan, bagi mereka yang melanggar ketentuan ini akan dijatuhi hukuman denda maksimal 1000 ringgit; atau dipenjara maksimal 6 bulan; atau dijatuhi hukuman keduanya sekaligus.
Pemberian izin poligami oleh pengadilan amat terkait dengan hasil pertimbangan institusi tersebut terhadap keterangan yang diberikan pemohon dan para istri yang lebih dahulu dinikahinya. Dasar pertimbangan pengadilan untuk memberikan izin poligami berkaitan dengan kondisi/prilaku istri dan suami. Dari sudut istri adalah: 1) Kemandulan; 2) Keuzuran jasmani; 3) Tidak layak dari segi jasmani untuk bersetubuh; 4) Sengaja tidak mau memulihkan hak-hak persetubuhan, atau 5) Sakit jiwa/ gila. Sedangkan pertimbangan pada sudut suami adalah: 1) Mampu secara ekonomi untuk menanggung istri-istri dan anak keturunan, 2) Mampu berlaku adil kepada para istri 3) Perkawinan itu tidak menyebabkan bahaya bagi agama, nyawa, badan, akal pikiran atau harta benda istri yang telah lebih dahulu dinikahi, 4) Perkawinan itu tidak akan menyebabkan turunnya martabat istri-istri atau orang-orang yang terkait dengan perkawinan, langsung atau tidak.
Secara umum Hukum Keluarga Malaysia tampaknya masih berpegang pada konsepsi mazhab-mazhab Sunni, utamanya mazhab Syafi‘i, dalam hal kebolehan poligami. Ditetapkannya sejumlah alasan poligami terlihat diinspirasi oleh konsepsi fikih mengenai kewajiban suami atas istri dan alasan terjadinya fasakh. Sementara peran pengadilan dalam pemberian izin poligami dan kriminalisasi poligami merupakan bagian dari bentuk siyasah syariah yang bertujuan mengantisipasi dan memberi daya jera terhadap penyalahgunaan poligami. Di samping itu penafsiran baru terhadap pesan Alquran terkait masalah poligami dan langkah perlindungan pada kaum wanita juga menjadi bagian
9. Indonesia.
Di dalam Undang-undang Perkawinan pada masa penjajahan Hindia-Belanda masalah poligami sama sekali tidak diatur. demikian pula pada masa awal kemerdekaan dimana masalah perkawinan diatur dalam UU no 22/1946 yang kemudian disempurnakan dalam UU no 32 tahun 1954 yang hanya mengatur masalah
pencatatan nikah , talak dan rujuk.
Isu pengaturan masalah poligami dalam sistim hukum dan perundangan di Indonesia pertama kali mengemuka pada Kongres Wanita Indonesia pertama yang diadakan pada bulan Desember 1928 yang diprakasai oleh Aisyiyah sayap perempuan dari pergerakan Muhammadiyah dan diikuti oleh sekitar 30 an organisasi perempuan.
Selain isu poligami ,isu perkawinan di bawah umur dan kawin paksa juga menjadi
perhatian anggota kongres. istri Sedar sebuah organisasi perempuan berhaluan kiri yang
kemudian menjadi cikal bakal GERWANI menolak ikut dalam kongres ini sebagai bentuk penentangannya dan penolakannya untuk berkompromi dalam isu poligami (Saskia Wieringa , 1998)
Memasuki era kemerdekaan , wacana anti poligami mendapat batu sandungan yang serius ketika Soekarno Presiden Indonesia saat itu melakukan praktek polgaminya yang pertama dengan Hartini pada tahun 1954.Organisasi perempuan sayap kiri Gerwani yang sebelumnya sangat menentang hal ini bahkan menolak segala bentuk kompromi
dalam isu poligami , ketika dihadapkan pada kasus ini condong bersikap agak lunak akibat pilihan politik para pemimpinnya kepada sosok Soekarno , bahkan tuntutan Gerwani tentang masalah poligami dalam isu pembuatan RUU Perkawinan akhirnya semakin melemah,bahkan di tahun 1964 isu ini kemudian dihilangkan (Saskia Wieringa,
1998 : 28)
Salah satu organisasi perempuan yang secara keras menentang perilaku presiden Soekarno adalah Perwari (PersatuanWanita Republik Indonesia) yang notabene adalah sebuah organisasi perempuan pro pemerintah yang anggotanya kebanyakan adalah istri-istri para pejabat sipil dan militer dimana mereka juga mendukung Fatmawati untuk bercerai dengan Soekarno.
Beberapa organisasi perempuan terutama yang berhaluan nasionalis dan sosialis seperti Gerakan Wanita Marhaenis juga ikut menggugat praktek poligami yang dilakukan
Soekarno.Dan sikap Perwari dan beberapa organisasi perempuan ini dibayar dengan dicabutnya berbagai fasilitas yang sebelumnya dinikmati mereka dari pemerintah.bahkan lebih jauh lagi gerakan penentangan terhadap praktek poligami yang dilakukan Soekarno kemudian diposisikan sebagai gerakan Kontra-Revolusioner . Ketua umum Gerwani pada pidatonya di tahun 1964 mengecam sikap Perwari itu sebagai sebuah sikap yang hanya memperjuangkan kepentingan nyonya nyonya pejabat tinggi dan merupakan serangan terhadap pribadi Sokarno dan serangan itu harus di jawab karena merupakan bentuk
upaya kontra-revolusioner .
Sementara itu gerakan-gerakan perempuan Islam condong mendiamkan praktek poligami yang dilakukan Soekarno tersebut.Perkawinan Soekarno ini adalah tamparan kedua bagi kelompok perempuan kontra poligami setelah pada tahun 1952 pemerintah
mengeluarkan keputusan no 19 tahun 1952 yang memberi gaji dua kali lipat bagi pegawai yang berpoligami selain juga tunjangan pensiun bagi janda poligami juga diberikan dua kali lipat yang dibagikan secara merata kepada masing-masing janda.
Keputusan ini menjadi tamparan keras bagi kelompok perempuan di Komisi Perkawinan yang dibentuk tahun 1950 dan sedang menyusun draft RUU Perkawinan yang menyatakan poligami hanya diizinkan dengan persyaratan-persyaratan yang keras.
Keputusan pemerintah itu mendapat dukungan di kalangan Islam yang diwakili
oleh Masyumi dan Partai NU.Organisasi perempuan Islam seperti Fatayat NU juga secara tegas menyatakan dukungannya.
Memasuki era pemerintahan Presiden Soeharto , pembahasan RUU Perkawinan yang tertunda akibat gejolak politik pada pemerintahan sebelumnya akhirnya diteruskan.Pembahasan RUU ini memanas ketika fraksi Islam PPP walk out dari sidang menolak RUU versi kaum nasionalis yang didukung oleh Fraksi Golkar dan Partai
Demokrasi Indonesia.Inti penolakan mereka adalah pasal 11 ayat (2) RUU itu yang mengadopsi pasal 7 GHR yang membolehkan perkawinan antar agama.
Puncak krisis terjadi ketika massa pemuda Islam menduduki gedung Parlemen ketika sidang akan mengesahkan RUU tersebut.Jend Soemitro pada saat itu langsung turun tangan dan menemui Presiden Soeharto dengan membawa draft RUU versi PPP yang kemudian ditandatangai dan disyahkan menjadi UU no 1/1974 seperti yang berlaku sekarang.
Yang menarik adalah dalam UU tersebut masalah poligami diatur lebih ketat dari RUU versi kelompok Islam pada masa era Soekarno. Salah satunya adalah mensyaratkan adanya izin dari istri sebelumnya. Menanggapi kontroversi dalam masalah ini K.H Ibrahim Hosen menyatakan bahwa masalah izin itu tidak diatur dalam hukum agama jadi hukumnya mubah tapi penguasa sebagai pihak yang memiliki peranan untuk membentuk hukum Islam bisa merubahnya menjadi wajib atau haram (Tempo ,14 Mei 1983).
Pemberlakuan aturan yang lebih ketat terhadap praktek poligami ini merupakan solusi atau jalan tengah yang ditawarkan kelompok Islam terhadap tekanan sejumlah fihak yang menghendaki dihapuskannya pasal poligami dalam RUU Perkawinan.
Akan tetapi karena tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelanggaran aturan dalam UU Perkawinan pasal 3 dan 4 yang mengatur masalah poligami ini maka aturan itu seringkali diabaikan.Bahkan dari 4500 kasus poligami yang ditangani Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga 50 % nya dilakukan oleh kalangan pejabat dan pegawai negri sipil (Fokus , 12 Mei 1983) Hal inilah yang kemudian mendorong sejumlah ibu-ibu pejabat mendesak diterbitkannya PP no 10/1983 yang mengatur masalah Izin Perkawinan dan Perceraian bagi pegawai negri sipil dimana
pengaturan praktek poligami bagi kalangan pejabat dan pegawai negri sipil semakin diperketat.
Dengan diterbitkannya PP no 10/1083 ini maka menurut Ny Suprapti Soeprapto payung pelindung bagi istri pegawai negri makin kokoh (Tempo 14 Mei 1983) Akan tetapi masalah izin istri ini kemudian dilemahkan dengan terbitnya Kompilasi Hukum Islam Indonesia melalui Inpres no 1 tahun 1991 dimana dalam pasal 59 KHII yang menyatakan
"Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satunn alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama,
dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atauAttention:- kasasi"Pasal ini memberi otoritas bagi Pengadilan agama untuk member izin berpoligami bagi seorang suami walaupun istri tidak mengizinkannya.
Tapi kelemahan utama dari UU maupun peraturan yang mengatur masalah perkawinan adalah tidak adanya tindakan hukum yang tegas yang mengatur masalah sanksi bagi pelaku perkawinan bawah tangan.Padahal pelaku poligami di Indonesia sebagian besarnya melakukannya secara bawah tangan / sirri dan ini juga menyebabkan
mereka secara legal formal lepas dari kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana yang diatur UU.
Fatwa MUI beberapa waktu lalu yang mensahkan kawin sirri semakin memperburuk masalah ini. Jadi kampanye perombakan UU Perkawinan juga KHII untuk
memperketat syarat-syarat poligami bahkan menghapuskan poligami sama sekali tidak akan memiliki kekuatan bila praktek perkawinan bawah tangan tidak dianggap sebagai tindak pelanggaran hukum di negri ini.
Padahal perkawinan bawah tangan baik monogami maupun poligami mengakibatkan hak hak istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menjadi terabaikan.Selain itu tanpa adanya sanksi terhadap pelanggaran pasal-pasal dalam UU Perkawinan membuat UU ini seperti macan kertas saja.Padahal keberadaan UU ini mutlak diperlukan untuk menjamin hak-hak warga negara.
Prosedur Poligami
Mengenai prosedur atau tata cara dalam poligami yang resmi diatur oleh islam memang tidak ada ketentuan secara pasti, namun di Indonesia, dengan Kompilasi Hukum Islamnya, telah mengatur hal tersebut.
1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama, yang pengajuannya telah diatur dengan peraturan pemerintah.
2. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pengadilan agama hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari satu orang apabila,
a. Istri tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Disamping syarat-syarat tersebut diatas, maka untuk memenuhi perolehan izin pengadilan agama harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak mereka
Persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan pada sidang pengadilan agama.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Poligami adalah perkawinan seorang lelaki dengan lebih dari satu orang wanita, yang sudah dikenal luas dan dipraktekkan oleh ummat terdahulu di berbagai belahan dunia tanpa mengenal pembatasan. Sesudah diutusnya Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam, praktek poligami hanya dibolehkan sampai empat orang istri dengan syarat sang suami dapat berlaku adil (adil lahiriyah) kepada seluruh istri-istrinya.
2. Adanya berbagai persepsi yang keliru di kalangan ummat tentang poligami diakibatkan karena jauhnya mereka dari ajaran Islam yang murni dari Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam seperti yang dipahami oleh para Ulama kita yang sholih dan istiqamah. Penyebab yang lainnya adalah hawa nafsu dan sifat apriori dengan poligami.
3. Musuh-musuh Islam memanfaatkan isu poligami untuk menyerang Islam dengan berbagai tuduhan-tuduhan keji. Dimana tuduhan-tuduhan tersebut bersumber dari kebencian dan ada indikasi ketidak jujuran dalam memandang isu ini.
4. Allah menetapkan syari'atnya dengan berbagai hikmah dan manfaat termasuk poligami memiliki berbagai hikmah dan manfaat
Wallahu Ta'ala A'lam
DAFTAR PUSTAKA
- Abdurrahman S.H, 1986. Himpunan Perundang-undangan tentang Perkawinan, CV Akamedika Pressindo , Jakarta ,
- Nasaruddin Umar, 2001. Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif Al Qur'an, Paramadina, Jakarta
- Saskia Wieringa, 1999 Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Garba Budaya, Jakarta
- Jurnal Perempuan no 31, 2003. Menimbang Poligami, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta,
- M.A. Tamimi, Sohari Sahrani, 2009 Fikih Munakahah Kajian Fikih Lengkap, PT. Raja Grafindo
- Siti Musdah Mulia, 2004. Islam Menggugat Poligami, PT. Gramedia Pustaka Utama,
- Ahrum Khoiruddin, Pengadilan Agama, 1999, PT Citra Aditia Bakti, Bandung
- As-Shobuniy, Tafsir Ayat Ahkam Min Al-Qur’an
- Tahir Mahmood, 1972, Family Law Reform in the Muslim World, Tripathi PVT, Bombay
valid lagi info ni ?
BalasHapus