Jam menunjukkan 13.50 WIB ketika ku pulang dari
kampus. Cuaca terik, matahari masih bersinar panas, seolah membakar apapun yang
terkenar sinarnya. Beberapa hari ini memang cuaca lagi cerah-cerahnya, setelah
berminggu-minggu daerah Malang dan sekitarnya diguyur hujan. Meski tidak deras,
hujan yang tanpa henti itu mengakibatkan beberapa daerah banjir, walau hanya
setinggi mata kaki atau betis. Sebenarnya, mulai jam sepuluh pagi kuliah telah
usai, hanya saja ku pengen menyetorkan hafalan ayatul ahkam kepada Dosen Wali. Hafalan yang
berjumlah 40 ayat dan 40 hadits itu sebagai syarat untuk bisa mengikuti ujian
komprehensif; ujian yang diadakan sebelum ujian skripsi, yang mencakup semua
mata kuliah dari semester satu hingga akhir. Masing-masing dosen wali mempunyai
cara yang berbeda-beda dalam menerima setoran dari mahasiswa. Ada yang harus
setoran 40 ayat/hadits sekaligus, ada yang seminggu harus setor 10 ayat beserta
maknanya, dan ada beberapa anak Hafidz (hafal al-Qur’an) yang hanya
setor 1 ayat tapi langsung diluluskan. Namun karena saya tak terlalu kuat dalam
menghafal, setoran pun sekenanya saja, pernah seminggu dapet 8 ayat, 2 hari
nyetor 5 ayat, dst. Namun untuk kedepannya harus bisa seminggu 20 ayat, ini
demi mengejar target bahwa bulan ini harus rampung semuanya, agar bisa
mendaftar ujian komprehensif di awal bulan Mei.
Kamis, 29 Maret 2012
Selasa, 20 Maret 2012
Kala Sore di Mergosono – Malang
Saat azan asar berkumandang, sahut-sahutan, karena banyaknya musholla dan langgar, terdengar suara khas yang membedakannya dari suara azan yang lain. Suara seorang anak yang dengan lantangnya mengajak orang-orang disekitarnya –yang sibuk dengan urusan duniawinya masing-masing- untuk rilex sebentar, mengistirahatkan saraf-saraf dan ototnya sejenak untuk menghadap kepadaNya. Saya yang sedari tadi mendengarkan panggilan suci dari rumah Bude (kakak dari ayah) tergerak tuk shalat berjamaah, namun bukan ditempat anak yang azan tadi, “di musholla yang dekat sajalah..” batin saya. Namun ketika hampir sampai di musholla yang dituju, pintunya masih tertutup dan tak ada seorang pun disana, hanya ada beberapa bapak-bapak yang sedang asyik ngobrol disamping musholla. “Ah, kenapa dari mereka gak ada yang azan? Apa karena keasyikan ngobrol jadi lupa waktu? Bukankah pahala azan itu besar, melebihi pahala imam shalat? Dan juga perbuatan yang mulia?” Ditengah pertanyaan batin yang masih belum jelas itu, terbesit pikiran “Mending saya datangi suara anak-anak yang azan tadi, yang sekarang ia asyik mendendangkan puji-pujian. Toh jika saya ingin azan dimusholla ini takkan bisa. Karena kunci pintunya pasti dibawa oleh takmir musholla.”
Sambil berlalu saya terus menyusuri jalan tapak demi setapak ketempat anak yang masih bersholawatan itu. Dari padatnya rumah-rumah penduduk, saya sisiri gang-gang yang ada. Cukup jauh memang. Ketika suaranya sudah terasa dekat –yang berarti mushollanya sudah didekat sini- ia menghentikan pujiannya, dan langsung Iqomah. Saya pun mempercepat langkah dan akhirnya sampai dimusholla itu. Tanpa pikir panjang saya langsung wudhu’ secepatnya karena takut ketinggalan rakaat pertama. Namun ketika masuk, ternyata shalat belum dimulai. Terdengar mereka saling berbisik, ada 3 anak disana. Ketika mendekat saya bertanya tentang siapa yang biasa jadi imam disini, khawatir jika ada ustadz/tokoh masyarakat disitu yang biasa dijadikan imam. Namun spontan salah satu anak menjawab “Jenengan mawon sing dadi imam (sampean saja yang jadi imam sholat)”ujarnya. Saya mbatin, “Jika tidak datang kesini berarti salah satu dari mereka yang akan mengimami shalat!?”. Dengan baju putih, sorban di leher, kopyah hitam, sarung yang dipakai serta wajah lugu mereka, terlihat masih kelas 4/5 SD. Kepribadian mereka yang telah sudi mengorbankan waktu bermain dengan azan dan shalat berjamaah inilah yang saya kagumkan. Mereka tidak menunggu diperintah untuk shalat berjamaah oleh orangtuanya, meskipun terkadang malah yang nyuruh itu tidak ikutan shalat berjamaah. Mereka telah membangun prinsip dari awal, bahwa ini kewajiban. Sehingga tanpa ada paksaan atau perintah mereka harus tetap menjalankannya. Apalagi se-umuran mereka masih takut-takutnya jika diancam dengan siksa neraka. Sehingga ada niat untuk selalu berbuat kebaikan demi memperoleh surga. Entah jika dibandingkan dengan orang mukallaf di abad ini...
Gang 3b, 18 Maret 2012
Sambil berlalu saya terus menyusuri jalan tapak demi setapak ketempat anak yang masih bersholawatan itu. Dari padatnya rumah-rumah penduduk, saya sisiri gang-gang yang ada. Cukup jauh memang. Ketika suaranya sudah terasa dekat –yang berarti mushollanya sudah didekat sini- ia menghentikan pujiannya, dan langsung Iqomah. Saya pun mempercepat langkah dan akhirnya sampai dimusholla itu. Tanpa pikir panjang saya langsung wudhu’ secepatnya karena takut ketinggalan rakaat pertama. Namun ketika masuk, ternyata shalat belum dimulai. Terdengar mereka saling berbisik, ada 3 anak disana. Ketika mendekat saya bertanya tentang siapa yang biasa jadi imam disini, khawatir jika ada ustadz/tokoh masyarakat disitu yang biasa dijadikan imam. Namun spontan salah satu anak menjawab “Jenengan mawon sing dadi imam (sampean saja yang jadi imam sholat)”ujarnya. Saya mbatin, “Jika tidak datang kesini berarti salah satu dari mereka yang akan mengimami shalat!?”. Dengan baju putih, sorban di leher, kopyah hitam, sarung yang dipakai serta wajah lugu mereka, terlihat masih kelas 4/5 SD. Kepribadian mereka yang telah sudi mengorbankan waktu bermain dengan azan dan shalat berjamaah inilah yang saya kagumkan. Mereka tidak menunggu diperintah untuk shalat berjamaah oleh orangtuanya, meskipun terkadang malah yang nyuruh itu tidak ikutan shalat berjamaah. Mereka telah membangun prinsip dari awal, bahwa ini kewajiban. Sehingga tanpa ada paksaan atau perintah mereka harus tetap menjalankannya. Apalagi se-umuran mereka masih takut-takutnya jika diancam dengan siksa neraka. Sehingga ada niat untuk selalu berbuat kebaikan demi memperoleh surga. Entah jika dibandingkan dengan orang mukallaf di abad ini...
Gang 3b, 18 Maret 2012
Kamis, 15 Maret 2012
“GUS JAKFAR” ____Cerpen Karya GUS MUS
Gus Mus ketika mengisi ceramah di Ponpes Sabilurrosyad, Malang. |
Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu.
"Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. "Saya sendiri tidak paham apa maksudnya kok anaknya lebih tua dari beliau itu."
"Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat gak, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?'. Lho, tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya."
"Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. "Saya sendiri tidak paham apa maksudnya kok anaknya lebih tua dari beliau itu."
"Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat gak, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?'. Lho, tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya."
Senin, 12 Maret 2012
Research of Calligraphy
Senang rasanya bisa berkumpul dengan teman sehobi, berbagi pengalaman dan informasi. Sudah lama rasanya tidak merasakan semangat untuk berkarya, mangekspresikan diri dalam lukisan dan tulisan. Dengan bertemu dan sharing dengan teman senior diharapkan energi semangat mereka dapat menular, menembus saraf-saraf otak dan hati sanubari, agar karya yang dihasilkan pun bukan hanya indah dipandang mata namun juga dapat menyejukkan hati.
Jumat, 09 Maret 2012
Poligami di Negara-negara Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Poligami merupakan isu klasik yang selalu menarik perhatian untuk diperbincangkan dan didiskusikan oleh kaum Adam apalagi kaum Hawa. Menarik bagi kaum Hawa, sebab jika poligami diperbolehkan itu berarti kaum Adam mendapatkan legitimasi syari'ah (baca: agama) untuk menikah lebih dari seorang istri. Sedangkan bagi sebagian besar kaum Hawa merupakan momok bahkan perkara yang paling pantang bagi mereka. Hal itu disebabkan karena umumnya karakteristik kaum Hawa tidak ingin diduakan dalam hidupnya. Kalimat yang sering kita dengarkan dari mereka adalah: "Perempuan mana yang mau dimadu?"
Sebenarnya, poligami sudah dikenal dan dipraktekkan oleh bangsa-bangsa kuno, seperti Athena, Cina, India, Babilonia, Asyiria dan Mesir Kuno. Pada bangsa-bangsa ini tidak ditemukan batasan maksimal dalam poligami. Contohnya, undang-undang Cina kuno mengizinkan laki-laki untuk mempunyai sampai 130 istri. Bahkan, seorang bangsawan Cina mempunyai 30.000 istri.
Dr. Mustafa Al-Siba'i selanjutnya mengatakan: "Agama Yahudi mengizinkan poligami dengan tanpa memberikan batasan maksimal. Semua nabi-nabi bangsa Yahudi bahkan mempunyai banyak istri. Disebutkan di dalam kitab Taurat bahwa Nabi Sulaiman mempunyai 700 istri yang merdeka dan 300 budak perempuan.
Musuh-musuh Islam, menjadikan isu poligami sebagai salah satu argumen untuk menuduh Islam sebagai agama yang mendiskriminasi kaum perempuan. Bahkan dalam satu situs JIL (Jaringan Islam Liberal) ditemukan sebuah artikel yang diberi judul: "Poligami sebagai Bentuk Kekerasan yang Paling Nyata atas Harkat dan Martabat Perempuan sebagai Manusia di dalam Hukum, Sosial Budaya dan Agama".
Sementara itu kalangan awam dari ummat Islam, sering membenturkan makna dua ayat yang dijadikan fokus pembahasan dalam makalah ini yaitu surat An Nisaa ayat 3 dan ayat 129. Ayat 3 dari surat An Nisa’ membolehkan poligami sampai empat tapi dengan syarat mampu berbuat adil, namun upaya berbuat adil itu tidaklah mungkin terwujud karena pada ayat 129 Allah SWT telah menafikannya dengan perkataan (yang artinya) adalah:
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian…."
Pemahaman seperti ini tidak saja dianut oleh sebagian besar kaum awam dalam Islam, tetapi juga tidak sedikit jumlahnya dari kalangan Da'i dan Muballigh yang berpemahaman seperti itu.
Sebagai salah satu bagian dari jihad fi sabilillah (al-Jihad bi al-Lisan), maka makalah ini berupaya meluruskan beberapa tuduhan-tuduhan keji dari musuh-musuh Islam dengan memanfaatkan isu poligami, serta berupaya meluruskan beberapa pemahaman yang keliru terhadap sistim poligami dalam Islam.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Poligami merupakan isu klasik yang selalu menarik perhatian untuk diperbincangkan dan didiskusikan oleh kaum Adam apalagi kaum Hawa. Menarik bagi kaum Hawa, sebab jika poligami diperbolehkan itu berarti kaum Adam mendapatkan legitimasi syari'ah (baca: agama) untuk menikah lebih dari seorang istri. Sedangkan bagi sebagian besar kaum Hawa merupakan momok bahkan perkara yang paling pantang bagi mereka. Hal itu disebabkan karena umumnya karakteristik kaum Hawa tidak ingin diduakan dalam hidupnya. Kalimat yang sering kita dengarkan dari mereka adalah: "Perempuan mana yang mau dimadu?"
Sebenarnya, poligami sudah dikenal dan dipraktekkan oleh bangsa-bangsa kuno, seperti Athena, Cina, India, Babilonia, Asyiria dan Mesir Kuno. Pada bangsa-bangsa ini tidak ditemukan batasan maksimal dalam poligami. Contohnya, undang-undang Cina kuno mengizinkan laki-laki untuk mempunyai sampai 130 istri. Bahkan, seorang bangsawan Cina mempunyai 30.000 istri.
Dr. Mustafa Al-Siba'i selanjutnya mengatakan: "Agama Yahudi mengizinkan poligami dengan tanpa memberikan batasan maksimal. Semua nabi-nabi bangsa Yahudi bahkan mempunyai banyak istri. Disebutkan di dalam kitab Taurat bahwa Nabi Sulaiman mempunyai 700 istri yang merdeka dan 300 budak perempuan.
Musuh-musuh Islam, menjadikan isu poligami sebagai salah satu argumen untuk menuduh Islam sebagai agama yang mendiskriminasi kaum perempuan. Bahkan dalam satu situs JIL (Jaringan Islam Liberal) ditemukan sebuah artikel yang diberi judul: "Poligami sebagai Bentuk Kekerasan yang Paling Nyata atas Harkat dan Martabat Perempuan sebagai Manusia di dalam Hukum, Sosial Budaya dan Agama".
Sementara itu kalangan awam dari ummat Islam, sering membenturkan makna dua ayat yang dijadikan fokus pembahasan dalam makalah ini yaitu surat An Nisaa ayat 3 dan ayat 129. Ayat 3 dari surat An Nisa’ membolehkan poligami sampai empat tapi dengan syarat mampu berbuat adil, namun upaya berbuat adil itu tidaklah mungkin terwujud karena pada ayat 129 Allah SWT telah menafikannya dengan perkataan (yang artinya) adalah:
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian…."
Pemahaman seperti ini tidak saja dianut oleh sebagian besar kaum awam dalam Islam, tetapi juga tidak sedikit jumlahnya dari kalangan Da'i dan Muballigh yang berpemahaman seperti itu.
Sebagai salah satu bagian dari jihad fi sabilillah (al-Jihad bi al-Lisan), maka makalah ini berupaya meluruskan beberapa tuduhan-tuduhan keji dari musuh-musuh Islam dengan memanfaatkan isu poligami, serta berupaya meluruskan beberapa pemahaman yang keliru terhadap sistim poligami dalam Islam.
Minggu, 04 Maret 2012
Dampak dari Kekurangan Tidur...
Selama ini saya beranggapan bahwa jika ingin kurus maka harus banyak begadang, makan dan tidur pun harus dikurangin. tapi setelah menjalani semuanya ko' sepertinya ada yang salah, badan bawaannya loyo n' lemes, mata cekung memerah, wajah lusuh dan susah mikir atau telmi (alias Telat Mikir). bukannya tambah kurus malah badan ini makin melar.. wah, ayahab ilakes (bahaya sekali >bahasa walikan/malang)nich... belakangan ternyata memang bener, ada beberapa akibat atau gejala yang ditimbulkan jika kurang tidur, seperti yang ditulis oleh Kompas;
1. Kecelakaan; Kurang tidur adalah salah satu faktor bencana terbesar dalam sejarah selain kecelakaan nuklir di Three Mile Island tahun 1979, tumpahan minyak terbesar Exxon Valdez, krisis nuklir di Chernobyl 1986, dan lain-lain.
Terdengar berlebihan, tapi Anda harus sadari kurang tidur juga berdampak pada keselamatan Anda setiap hari di jalan. Mengantuk dapat memperlambat waktu Anda mengemudi, yang setara ketika Anda mabuk saat menyetir.
Sebuah penelitian yang dilakukan Lembaga Keselamatan Lalu Lintas Jalan Raya Nasional Amerika menunjukkan bahwa kelelahan merupakan penyebab 100.000 kecelakaan mobil dan 1.500 kematian selama setahun di AS. Korbannya orang di bawah umur 25 tahun. Studi yang sama menunjukkan, jika Anda kurang tidur atau memiliki kualitas tidur yang rendah, maka hal itu dapat menyebabkan kecelakaan dan cedera saat bekerja. Dalam sebuah penelitian, pekerja yang mengeluh mengantuk berlebihan pada siang hari rentan terluka saat bekerja dan secara terus-menerus mengalami kecelakaan yang sama saat bekerja.
2. Konsentrasi menurun Tidur yang baik memainkan peran penting dalam berpikir dan belajar. Kurang tidur dapat memengaruhi banyak hal. Pertama, mengganggu kewaspadaan, konsentrasi, penalaran, dan pemecahan masalah. Hal ini membuat belajar menjadi sulit dan tidak efisien. Kedua, siklus tidur pada malam hari berperan dalam "menguatkan" memori dalam pikiran. Jika tidak cukup tidur, maka Anda tidak akan mampu mengingat apa yang Anda pelajari dan alami selama seharian.
3. Masalah kesehatan serius Gangguan tidur dan kurang tidur tahap kronis dapat membawa Anda pada risiko:
* Penyakit jantung * Serangan jantung * Gagal jantung * Detak jantung tidak teratur * Tekanan darah tinggi * Stroke * Diabetes Menurut beberapa penelitian, 90 persen penderita insomnia—gangguan tidur yang ditandai dengan sulit tidur dan tetap terjaga sepanjang malam—juga mengalami risiko kesehatan serupa.
4. Gairah seks menurun Para ahli melaporkan, kurang tidur pada pria dan wanita menurunkan tingkat libido dan dorongan melakukan hubungan seksual. Hal ini dikarenakan energi terkuras, mengantuk, dan tensi yang meningkat. Bagi pria yang mengidap sleep apnea (masalah pernapasan yang mengganggu saat tidur) kurang tidur menyebabkan gairah seksual melempem. Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 2002 menunjukkan, hampir semua orang yang menderita sleep apnea memiliki kadar testosteron yang rendah. Hampir setengah dari orang yang menderita sleep apnea parah memiliki tingkat testosteron yang rendah pada malam hari.
5. Menyebabkan depresi Dalam studi tahun 1997, peneliti dari Universitas Pennsylvania melaporkan bahwa orang-orang yang tidur kurang dari 5 jam per hari selama tujuh hari menyebabkan stres, marah, sedih, dan kelelahan mental. Selain itu, kurang tidur dan gangguan tidur dapat menyebabkan gejala depresi. Gangguan tidur yang paling umum adalah insomnia, yang memiliki kaitan kuat dengan depresi. Dalam studi tahun 2007 yang melibatkan 10.000 orang terungkap bahwa pengidap insomnia 5 kali lebih rentan mengalami depresi. Bahkan, insomnia sering menjadi salah satu gejala pertama depresi. Insomnia dan tidak nafsu makan akibat depresi saling berhubungan. Kurang tidur memperparah gejala depresi dan depresi membuat Anda lebih sulit tidur. Sisi positifnya, pola tidur yang baik dapat membantu mengobati depresi.
6. Memengaruhi kesehatan kulit Kebanyakan orang mengalami kulit pucat dan mata bengkak setelah beberapa malam kurang tidur. Keadaan tersebut benar karena kurang tidur yang kronis dapat mengakibatkan kulit kusam, garis-garis halus pada wajah, dan lingkaran hitam di bawah mata. Bila Anda tidak mendapatkan cukup tidur, tubuh Anda melepaskan lebih banyak hormon stres atau kortisol. Dalam jumlah yang berlebihan, kortisol dapat memecah kolagen kulit atau protein yang membuat kulit tetap halus dan elastis. Kurang tidur juga dapat menyebabkan tubuh lebih sedikit mengeluarkan hormon pertumbuhan. Ketika kita masih muda, hormon pertumbuhan manusia mendorong pertumbuhan. Dalam hal ini, hormon tersebut membantu meningkatkan massa otot, menebalkan kulit, dan memperkuat tulang. "Ini terjadi saat tubuh sedang tidur nyenyak—yang kami sebut tidur gelombang lambat (SWS)—hormon pertumbuhan dilepaskan," kata Phil Gehrman, PhD, CBSM, Asisten Profesor Psikiatri dan Direktur Klinis dari Program Behavioral Sleep Medicine Universitas Pennsylvania, Philadelphia.
7. Pelupa Tidak ingin lupa dengan kenangan terbaik dalam hidup Anda? Cobalah perbanyak tidur. Pada tahun 2009, peneliti dari Amerika dan Perancis menemukan bahwa peristiwa otak yang disebut sharp wave ripples bertanggung jawab menguatkan memori pada otak. Peristiwa ini juga mentransfer informasi dari hipokampus ke neokorteks di otak, tempat kenangan jangka panjang disimpan. Sharp wave ripples kebanyakan terjadi pada saat tidur.
8. Tubuh jadi "melar" Jika Anda mengabaikan efek kurang tidur, maka bersiaplah dengan ancaman kelebihan berat badan. Kurang tidur berhubungan dengan peningkatan rasa lapar dan nafsu makan, dan kemungkinan bisa menjadi obesitas. Menurut sebuah studi tahun 2004, hampir 30 persen dari orang-orang yang tidur kurang dari enam jam sehari cenderung menjadi lebih gemuk daripada mereka yang tidur tujuh sampai sembilan jam sehari. Penelitian terakhir terfokus pada hubungan antara tidur dan peptida yang mengatur nafsu makan. Ghrelin merangsang rasa lapar dan leptin memberi sinyal kenyang ke otak dan merangsang nafsu makan. Waktu tidur singkat dikaitkan dengan penurunan leptin dan peningkatan dalam ghrelin. Kurang tidur tak hanya merangsang nafsu makan. Hal ini juga merangsang hasrat menyantap makanan berlemak dan makanan tinggi karbohidrat. Riset yang tengah berlangsung dilakukan untuk meneliti apakah tidur yang layak harus menjadi bagian standar dari program penurunan berat badan.
9. Meningkatkan risiko kematian Dalam penelitian Whitehall ke-2, peneliti Inggris menemukan bagaimana pola tidur memengaruhi angka kematian lebih dari 10.000 pegawai sipil Inggris selama dua dekade. Berdasarkan hasil penelitian yang dipublikasikan pada 2007, mereka yang telah tidur kurang dari 5-7 jam sehari mengalami kenaikan risiko kematian akibat berbagai faktor. Bahkan kurang tidur meningkatkan dua kali lipat risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular.
10. Merusak penilaian terutama tentang tidur Kurang tidur dapat memengaruhi penafsiran tentang peristiwa. Keadaan tubuh yang lemas membuat kita tidak bisa menilai situasi secara akurat dan bijaksana. Anda yang kurang tidur sangat rentan terhadap penilaian buruk ketika sampai pada saat menilai apa yang kurang terhadap sesuatu.
so, khusus bagi penggila bola yang rela begadang nonton bola demi menyaksikan jagoannya tanding, harus lebih waspada, apalagi ketika Piala Dunia. karena jika dipaksakan badan jadi drop. tubuh juga seperti mesin, jika dipaksakan terus bekerja tanpa istirahat dan sampai batas maksimal, maka akan 'turun mesin'.. dan jangan mengira tidur diwaktu malam dapat digantikan ketika siang, karena memang malam diciptakan untuk manusia istirahat, dan siang untuk bekerja. itu Fitroh!!!
Sabtu, 03 Maret 2012
Ijtihad Hakim Agama dalam Konteks Undang-Undang
Seiring dengan perkembangan zaman, suatu permasalahan sudah bisa dipastikan juga akan terus bertambah, begitu juga dengan hukum. Akan tetapi, terkadang permasalahan yang timbul selangkah lebih maju dibandingkan dengan hukum yang ada. Karena memang hukum itu sendiri kebanyakan dibuat setelah terjadinya suatu permasalahan. Disinilah dibutuhkan kepiawaian seorang hakim dalam menginterpretasikan sebuah Undang-undang. Jika memang di dalam Undang-undang permasalahan tersebut tidak ada disinggung sama sekali, maka hakim berhak melakukan ijtihad.
Sebagaimana disebutkan dalam Ushul Fiqh, Ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara'. Jadi, seorang hakim (khususnya hakim agama) memang dituntut untuk menguasai sumber-sumber hukum dan kaidah-kaidah yang ada. Yang demikian itu sangat membantu dalam menerapkan ijtihad. Sedangkan dalam konteks Undang-undang, maka yang dibutuhkan adalah pemahaman yang luas dalam memahami sebuah Undang-undang. Misalnya dapat dilihat dari segi sosial budayanya, atau mungkin dari faktor kemaslahatannya. Sehingga nantinya sebuah keputusan hakim dapat diterima oleh semua kalangan, karena dilandasi dengan kebijakan.
Itu terjadi karena penemuan hukum adalah merupakan kegiatan terutama dari hakim dalam melaksanakan undang-undang bila terjadi peristiwa konkrit. Dimana dalam kegiatan tersebut (penemuan hukum) dibutuhkan adanya suatu metode (langkah) yang nantinya dapat dipergunakan oleh penegak hukum (hakim) dalam memberikan keputusan terhadap suatu peristiwa hukum yang terjadi.
Salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu adalah melalui interpretasi atau penafsiran. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit. Diantara macaman Metode Interpretasi adalah:
1. Interpretasi Menurut Bahasa (Gramatikal)
Metode interpretasi gramatikal merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari hanya sekedar membaca undang-undang. Di sini arti atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Metode interpretasi ini biasa juga disebut dengan metode obyektif.
2. Interpretasi Teleologis atau Sosiologis
Metode interpretasi ini biasa digunakan apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak perduli apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak. Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama waktu sekarang. Interpretasi teleologis ini biasa juga disebut dengan interpretasi sosiologis, metode ini baru digunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan pelbagai cara.
3. Interpretasi Sistematis
Terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dan berhubungan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan. Setiap undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Metode interpretasi sistematis ini adalah merupakan metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undang-undang lain, metode ini biasa pula disebut dengan interpretasi logis.
4. Interpretasi Historis
Salah satu cara untuk mengetahui makna undang-undang dapat pula dijelaskan atau ditafsirkan dengan meneliti sejarah terjadinya. Penafsiran ini dikenal sebagai interpretasi historis, dengan kata lain penafsiran ini merupakan penjelasan menurut terjadinya undang-undang.
Terdapat dua macam interpretasi historis, yaitu penafsiran menurut sejarah undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum. Dengan penafsiran menurut sejarah undang-undang, hendak dicari maksud ketentuan undang-undang seperti yang dilihat oleh pembentuk undang-undang pada waktu pembentukannya.
Inti dari interpretasi diatas adalah untuk memahami aturan hukum (UU) dalam peristiwa yang tidak jelas atau bahkan belum diatur sama sekali. Dalam hal inilah ijtihad hakim sangat berperan, karena jika tidak terdapat penyelesaian hukum maka masalah akan tetap berlarut-larut tanpa penyelesaian. Sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 1964, tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Yang kemudian diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman.
Akan tetapi, sesuai dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak ditemukan lagi oleh karena adanya campur tangan kekuasaan negara yang lain, yaitu Presiden/Pemimpin Besar Revolusi. Menurut ketentuan pasal 3, “Pengadilan mengadili menurut hukum sebagai alat revolusi berdasarkan Pancasila menuju masyarakat sosialis Indonesia”. Dalam penjelasan Undang-undang tersebut dijelaskan:
Suatu lembaga yang baru adalah turun atau campur tangan Presiden dalam urusan peradilan. Bila kita memegang teguh Trias Politica, maka pastilah lembaga itu tidak akandapat ditolerir. Kita berada dalam Revolusi dan demi penyelesaian Revolusi tahap demi tahap sampai tercapai masyarakat yang adil dan makmur, kita persatukan segala tenaga yang progresif, termasuk badan-badan dan alat-alat Negara yang kita jadikan alat Revolusi.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud dalam UUD 1945, tampak kembali sejak diundangkan dan berlakunya UU no. 14 tahun 1970 Jo. UU no. 35 tahun 1999. Menurut ketentuan pasal 1. “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggarranya Negara Hukum Republik Indonesia." Selanjtnya dalan penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka itu mengandung pengertian bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya. Ia bebas dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal yang di izinkan Undang-undang. Walaupun demikian, kebebasan itu sifatnya tidak mutlak karena hakim bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencarai dasar-dasar dan asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapinya, sehingga keputusan mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.
Hakim dalam memutuskan perkara, yang terpenting adalah fakta atau peristiwanya, dan dari situ akan:
- Tersimpulkan hukumnya; atau
- Terdapat peraturan-peraturan hukumnya; atau
- Hakim menemukan hukum (Judge made law)
Metode penemuan hukum (ijtihad) yang dimaksud adalah “thariqah”, yaitu jalan atau cara yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam memahami, menemukan dan merumuskan hukum syara’. Penemuan hukum dalam hukum Islam (ijtihad), pada dasarnya adalah usaha memahami, menemukan dan merumuskan hukum syara’. Bagi hukum yang jelas terdapat nash, usaha yang dilakukan oleh penemu hukum (mujtahid) adalah memahami nash yang berisi hukum itu dan merumuskannya dalam bentuk rumusan hukum yang mudah dilaksanakan secara operasional. Bagi hukum yang tidak tersurat secara jelas dalam nash, kerja ijtihad adalah mencari apa yang terdapat dibalik nash tersebut, kemudian merumuskannya dalam bentuk hukum. Sedang bagi hukum yang sama sekali tidak ditemukan petunjuknya dalam nash, tetapi mujtahid menyadari bahwa hukum Allah pasti ada, maka kerja ijtihad adalah menggali sampai menemukan hukum Allah, kemudian merumuskannya dalam rumusan hukum yang operasional.
Dalam hal menemukan hukum dan menetapkan hukum di luar apa yang dijelaskan dalam nash Al-Quran dan Hadits, para ahli mengerahkan segala kemampuan nalarnya, mereka merumuskan cara atau metode yang mereka gunakan dalam menemukan hukum. Ada beberapa metode yang lahir dari hasil rumusan, diantaranya ada metode yang merupakan ciri khas (hasil temuan) seorang mujtahid yang berbeda (dan tidak digunakan oleh) mujtahid lainnya. Adanya perbedaan metode ini berimplikasi pada munculnya perbedaan antara hasil ijtihad seorang mujtahid dengan yang lainnya. Perbedaan metode tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan bentuk pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujtahid dalam berijtihad.
Meskipun ada beberapa metode ijtihad dalam menetapkan hukum, namun tidak semua metode itu disepakati penggunanannya. Dalam bahasan ini akan dikemukakan beberapa cara atau metode :
1. Qiyas
Secara bahasa qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Sedang pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa defenisi, yang walaupun redaksi berbeda tapi mengandung pengertian yang sama. Diantaranya, yang dikemukakan Sadr al-Syari’ah, bahwa qiyas adalah memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.
2. Istihsan
Istihsan termasuk salah satu metode penemuan hukum (ijtihad) yang diperselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara praktis. Secara etimologi istihsan berarti menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu. Tidak terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqhi dalam mempergunakan lafal istihsan dalam pengertian etimologi. Sedang secara terminologi Imam Malik sebagaimana dinukilkan oleh Imam Syathibi mendefenisikan istihsan dengan: memberlakukan kemaslahatan juz’i ketika berhadapan dengan dengan kaidah umum, yang hakikatnya bahwa mendahulukan mashlahah al-mursalah dari qiyas.
3. Mashlahah al-mursalah
Secara etimologi mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Secara terminologi, Imam Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya mashlahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’ (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta), sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemashlahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan kehendak hawa nafsu.
4. Istishhab
Secara etimologi, istishhab berarti “minta bersahabat” atau “membandingkan sesuatu dan mendekatkannya”. Secara terminologi terdapat beberapa metode istishhab, Imam al-Ghazali mendefenisikan istishhab dengan : berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada. Ibn Hazm mendefenisikan istishhab dengan berlakunya hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash (ayat atau hadits) sampai ada dalil lain yang menunjukkan perubahan hukum tersebut. Kedua defenisi ini, pada dasarnya mengandung pengertian bahwa hukum yang sudah ada pada masa lampau tetap berlaku untuk zaman sekarang dan yang akan datang selama tidak ada dalil lain yang mengubah hukum itu.
5. ‘Urf
Secara etimologi ‘urf berarti “yang baik”. Sedang ‘urf menurut ulama ushul fiqhi adalah kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan. Berdasarkan defenisi tersebut, Mushthafa Ahmad al-Zarqa mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu.
6. Mazhab Shahabi
Mazhab shahabi berarti pendapat para sahabat Rasulullah saw, yang dimaksud pendapat sahabat adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukilkan para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut. Disamping belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan hukum tersebut.
Dalam kaitannya dengan Undang-undang, hasil ijtihad tidaklah merupakan hujjah ( dasar ) atau UU untuk semua perkara, karena hukum hasil ijtihad itu didasarkan atas sangkaan ( dhan ), dan mujtahidnya itu sendiri menetapi hukum itu sepanjang pendapatnya tentang masalah itu belum berubah, sebab hukum hasil ijtihadnya itu merupakan hukum syar’i menurut persangkaannya, dan ia tidak dibenarkan meninggalkannya atau memakai pendapat mujtahid lain tentang ketentuan hukum masalah itu, kecuali kalau hal itu merupakan hasil ijtihad dan tarjih.
Demikian juga apabila mujtahid tersebut seorang hakim, kemudian ijtihadnya berubah setelah putusannya dijatuhkan, maka menurut kesepakatan ulama hal seperti ini putusan tersebut tidak boleh dibatalkan sepanjang tidak menyalahi dalil qath’i atau nash atau qiyas yang jelas (jaliy). Hal itu demi wibawa hukum itu sendiri, sebab kalau hasil ijtihad atau putusan itu dapat dibatalkan karena adanya perubahan ijtihad yang baru atau karena mengikuti hasil ijtihad hakim yang lain maka putusan-putusan itu tidak mempunyai ketetapan.
Apabila jika ada orang yang lebih ahli dalam bidang fiqh dari padanya sedang hakim sendiri tidak berpendapat demikian, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat. Pertama, hakim wajib berpegangan pada pendapatnya sendiri karena seorang mujtahid tidak boleh bertaklid. Seperti pada masa khulafaurrasyidin, sahabat Umar r.a pernah menetapkan sebuah hukum, kemudian pada kali yang lain beliau memutuskan perkara yang sama tetapi berbeda keputusannya. Di waktu orang –dalam kasus pertama- bertanya kepadanya beliau menjawab: ”yang dahulu adalah kami putuskan menurut dahulu dan ini adalah putusan kami yang sekarang” . Dan pendapat yang ke-dua mengatakan bahwa hakim boleh mengambil pendapat yang lain itu selama hakim tidak menyalahi pendapat sahabat karena pendapat sahabat lebih dekat kepada kebenaran dari pendapat yang diambil melalui jalan qias .
Dalam konteks yang berbeda, hakim merupakan unsur utama dalam pengadilan. Bahkan ia ‘identik’ dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman sering kali di identikkan dengan kebebasan hakim. Demikian halnya, keputusan pengadilan diidentikkan dengan keputusan hakim. Oelh karena itu, pencapaian penegakan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan. Berkenaan dengan itu, Cik Hasan Bisri mengaatakan bahwa munculnya idealisasi serta preskripsi-preskripsi tentang hakim. Dikalangan fuqaha’ terdapat beranekaragam pandangan tentang persyaratan untuk dapat diangkat menjadi hakim, termasuk diantaranya teentang kemampuan berijtihad. Hal lain yang menjadi bahan pembicaraan dikalangan mereka adalah jenis kelamin laki-laki merupakan syarat yang disepakati untuk dapat diangkat menjadi hakim. Sedangkan tentang perempuan terdapat beragam pandangan.
Disini, saya mencantumkan syarat-syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad dalam kajian ushul fiqh. Diantaranya adalah menurut Hanafi, ada lima syarat yang harus dipenuhi, di antaranya ;
1. Mengetahi bahasa Arab dengan segala seginya
2. Mengetahui cara pengambilan hukum dari ayat-ayat Al-Qur’an dan asbabun-nuzulnya.
3. Mengetahui hadist-hadist syar’i dan seluk beluk ilmu hadist.
4. Mengerti penerapan metode-metode ijtihat sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
5. Mengerti soal nasikh-mansukh
Syarat-syarat tersebut menurut Hanafi hanya diperlukan bagi seorang mujtahid mutlak untuk mujtahid parsial (untuk bidang tertentu) cukup mengetahui lapangan hukum menurut keahlian khususnya saja, misalnya lapangan hukum pernikahan.
Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, seorang mujtahid mutlak mesti melengkapi dirinya dengan alat atau syarat-syarat berikut ini :
1. Mengetahui segala ayat dan sunnah yang berhubungan dengan hukum.
2. Mengetahui masalah-masalah yang telah disepakati oleh para ahlinya.
3. Mengetaui nasikh-mansukh.
4. Mengetahui dengan sempurna bahasa Arab dengan ilmu-ilmunya.
5. Mengetahui rahasia-rahasia tasyri’.
6. Menetahui Qawaidil-Fiqh (kaidah-kaidah hukum fikih), di samping ushul fiqh.
Ditambahkan oleh beliau bahwa bagi seorang mujtahid yang berijtihad dalam beberapa masalah, cukuplah dia mengetahui dalil-dalil yang berpautan dengan masalah-masalah itu. Dan masih banyak lagi pendapat para pakar mengenai kriteria seorang hakim.
Kesimpulan
Ungkapan bahwa hakim tidak boleh menolak untuk memutuskan perkara dengan asalan hukum belum ada adalah kesempatan emas untuk menjadikan fiqh disebut dengan ijtihad. Suatu Hadits yang sering dikutip dalam pembahasan mengenai ilmu hukum Islam. Hakim dapat melakukan analogi dan interpretasi hukum, sebagaimana biasa sekali dibahas dalam ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh. Fiqh secara legal formal dapat dijadikan landasan dan pertimbangan hakim untuk memberi putusan hukum (Qodry Azizy, 2004:247-252)
Menurut Jimly as-Siddiqiy: seorang hakim yang baik di Indonesia adalah yang menguasai nilai-nilai dari hukum Islam, hukum positif dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Karena dengan menguasai tiga elemen tersebut, keputusan seorang hakim dapat diterima oleh semua kalangan.
Dan dalam konteks Undang-undang, sebagai seorang hakim agama juga tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip yang terdapat di dalam al-qur’an dan as-sunnah. Harus ada kejelian melihat sesuatu permasalahan dari segala aspek yang ada, agar hasil keputusannya bisa sempurna.
Daftar Pustaka
As-Shiddieqy, Hasbi. 1975. Pengatantar Hukum Islam I,. Jakarta , Bulan Bintang
_________________ Peradilan dan Hukum Acara Islam, PT Al-Ma’arif
http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/peradilan-agama
Soeparmono, 2005. Hukum Acara Perdata, Bandung, Mandar Maju
Bisri, Cik Hasan, 2003. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press
http://muliadinur.wordpress.com/2008/03/25/perbandingan-metode-penemuan-hukum/
Zuhriah, Erfaniah. 2008. Peradilan Agama di Indonesia. Malang, UIN Press
Syafe’i, Rachmat. 2007, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia
A. Hanafi, 1970, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang
Sebagaimana disebutkan dalam Ushul Fiqh, Ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara'. Jadi, seorang hakim (khususnya hakim agama) memang dituntut untuk menguasai sumber-sumber hukum dan kaidah-kaidah yang ada. Yang demikian itu sangat membantu dalam menerapkan ijtihad. Sedangkan dalam konteks Undang-undang, maka yang dibutuhkan adalah pemahaman yang luas dalam memahami sebuah Undang-undang. Misalnya dapat dilihat dari segi sosial budayanya, atau mungkin dari faktor kemaslahatannya. Sehingga nantinya sebuah keputusan hakim dapat diterima oleh semua kalangan, karena dilandasi dengan kebijakan.
Itu terjadi karena penemuan hukum adalah merupakan kegiatan terutama dari hakim dalam melaksanakan undang-undang bila terjadi peristiwa konkrit. Dimana dalam kegiatan tersebut (penemuan hukum) dibutuhkan adanya suatu metode (langkah) yang nantinya dapat dipergunakan oleh penegak hukum (hakim) dalam memberikan keputusan terhadap suatu peristiwa hukum yang terjadi.
Salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu adalah melalui interpretasi atau penafsiran. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit. Diantara macaman Metode Interpretasi adalah:
1. Interpretasi Menurut Bahasa (Gramatikal)
Metode interpretasi gramatikal merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari hanya sekedar membaca undang-undang. Di sini arti atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Metode interpretasi ini biasa juga disebut dengan metode obyektif.
2. Interpretasi Teleologis atau Sosiologis
Metode interpretasi ini biasa digunakan apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak perduli apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak. Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama waktu sekarang. Interpretasi teleologis ini biasa juga disebut dengan interpretasi sosiologis, metode ini baru digunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan pelbagai cara.
3. Interpretasi Sistematis
Terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dan berhubungan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan. Setiap undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Metode interpretasi sistematis ini adalah merupakan metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undang-undang lain, metode ini biasa pula disebut dengan interpretasi logis.
4. Interpretasi Historis
Salah satu cara untuk mengetahui makna undang-undang dapat pula dijelaskan atau ditafsirkan dengan meneliti sejarah terjadinya. Penafsiran ini dikenal sebagai interpretasi historis, dengan kata lain penafsiran ini merupakan penjelasan menurut terjadinya undang-undang.
Terdapat dua macam interpretasi historis, yaitu penafsiran menurut sejarah undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum. Dengan penafsiran menurut sejarah undang-undang, hendak dicari maksud ketentuan undang-undang seperti yang dilihat oleh pembentuk undang-undang pada waktu pembentukannya.
Inti dari interpretasi diatas adalah untuk memahami aturan hukum (UU) dalam peristiwa yang tidak jelas atau bahkan belum diatur sama sekali. Dalam hal inilah ijtihad hakim sangat berperan, karena jika tidak terdapat penyelesaian hukum maka masalah akan tetap berlarut-larut tanpa penyelesaian. Sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 1964, tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Yang kemudian diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman.
Akan tetapi, sesuai dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak ditemukan lagi oleh karena adanya campur tangan kekuasaan negara yang lain, yaitu Presiden/Pemimpin Besar Revolusi. Menurut ketentuan pasal 3, “Pengadilan mengadili menurut hukum sebagai alat revolusi berdasarkan Pancasila menuju masyarakat sosialis Indonesia”. Dalam penjelasan Undang-undang tersebut dijelaskan:
Suatu lembaga yang baru adalah turun atau campur tangan Presiden dalam urusan peradilan. Bila kita memegang teguh Trias Politica, maka pastilah lembaga itu tidak akandapat ditolerir. Kita berada dalam Revolusi dan demi penyelesaian Revolusi tahap demi tahap sampai tercapai masyarakat yang adil dan makmur, kita persatukan segala tenaga yang progresif, termasuk badan-badan dan alat-alat Negara yang kita jadikan alat Revolusi.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud dalam UUD 1945, tampak kembali sejak diundangkan dan berlakunya UU no. 14 tahun 1970 Jo. UU no. 35 tahun 1999. Menurut ketentuan pasal 1. “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggarranya Negara Hukum Republik Indonesia." Selanjtnya dalan penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka itu mengandung pengertian bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya. Ia bebas dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal yang di izinkan Undang-undang. Walaupun demikian, kebebasan itu sifatnya tidak mutlak karena hakim bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencarai dasar-dasar dan asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapinya, sehingga keputusan mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.
Hakim dalam memutuskan perkara, yang terpenting adalah fakta atau peristiwanya, dan dari situ akan:
- Tersimpulkan hukumnya; atau
- Terdapat peraturan-peraturan hukumnya; atau
- Hakim menemukan hukum (Judge made law)
Metode penemuan hukum (ijtihad) yang dimaksud adalah “thariqah”, yaitu jalan atau cara yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam memahami, menemukan dan merumuskan hukum syara’. Penemuan hukum dalam hukum Islam (ijtihad), pada dasarnya adalah usaha memahami, menemukan dan merumuskan hukum syara’. Bagi hukum yang jelas terdapat nash, usaha yang dilakukan oleh penemu hukum (mujtahid) adalah memahami nash yang berisi hukum itu dan merumuskannya dalam bentuk rumusan hukum yang mudah dilaksanakan secara operasional. Bagi hukum yang tidak tersurat secara jelas dalam nash, kerja ijtihad adalah mencari apa yang terdapat dibalik nash tersebut, kemudian merumuskannya dalam bentuk hukum. Sedang bagi hukum yang sama sekali tidak ditemukan petunjuknya dalam nash, tetapi mujtahid menyadari bahwa hukum Allah pasti ada, maka kerja ijtihad adalah menggali sampai menemukan hukum Allah, kemudian merumuskannya dalam rumusan hukum yang operasional.
Dalam hal menemukan hukum dan menetapkan hukum di luar apa yang dijelaskan dalam nash Al-Quran dan Hadits, para ahli mengerahkan segala kemampuan nalarnya, mereka merumuskan cara atau metode yang mereka gunakan dalam menemukan hukum. Ada beberapa metode yang lahir dari hasil rumusan, diantaranya ada metode yang merupakan ciri khas (hasil temuan) seorang mujtahid yang berbeda (dan tidak digunakan oleh) mujtahid lainnya. Adanya perbedaan metode ini berimplikasi pada munculnya perbedaan antara hasil ijtihad seorang mujtahid dengan yang lainnya. Perbedaan metode tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan bentuk pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujtahid dalam berijtihad.
Meskipun ada beberapa metode ijtihad dalam menetapkan hukum, namun tidak semua metode itu disepakati penggunanannya. Dalam bahasan ini akan dikemukakan beberapa cara atau metode :
1. Qiyas
Secara bahasa qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Sedang pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa defenisi, yang walaupun redaksi berbeda tapi mengandung pengertian yang sama. Diantaranya, yang dikemukakan Sadr al-Syari’ah, bahwa qiyas adalah memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.
2. Istihsan
Istihsan termasuk salah satu metode penemuan hukum (ijtihad) yang diperselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara praktis. Secara etimologi istihsan berarti menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu. Tidak terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqhi dalam mempergunakan lafal istihsan dalam pengertian etimologi. Sedang secara terminologi Imam Malik sebagaimana dinukilkan oleh Imam Syathibi mendefenisikan istihsan dengan: memberlakukan kemaslahatan juz’i ketika berhadapan dengan dengan kaidah umum, yang hakikatnya bahwa mendahulukan mashlahah al-mursalah dari qiyas.
3. Mashlahah al-mursalah
Secara etimologi mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Secara terminologi, Imam Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya mashlahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’ (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta), sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemashlahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan kehendak hawa nafsu.
4. Istishhab
Secara etimologi, istishhab berarti “minta bersahabat” atau “membandingkan sesuatu dan mendekatkannya”. Secara terminologi terdapat beberapa metode istishhab, Imam al-Ghazali mendefenisikan istishhab dengan : berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada. Ibn Hazm mendefenisikan istishhab dengan berlakunya hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash (ayat atau hadits) sampai ada dalil lain yang menunjukkan perubahan hukum tersebut. Kedua defenisi ini, pada dasarnya mengandung pengertian bahwa hukum yang sudah ada pada masa lampau tetap berlaku untuk zaman sekarang dan yang akan datang selama tidak ada dalil lain yang mengubah hukum itu.
5. ‘Urf
Secara etimologi ‘urf berarti “yang baik”. Sedang ‘urf menurut ulama ushul fiqhi adalah kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan. Berdasarkan defenisi tersebut, Mushthafa Ahmad al-Zarqa mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu.
6. Mazhab Shahabi
Mazhab shahabi berarti pendapat para sahabat Rasulullah saw, yang dimaksud pendapat sahabat adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukilkan para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut. Disamping belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan hukum tersebut.
Dalam kaitannya dengan Undang-undang, hasil ijtihad tidaklah merupakan hujjah ( dasar ) atau UU untuk semua perkara, karena hukum hasil ijtihad itu didasarkan atas sangkaan ( dhan ), dan mujtahidnya itu sendiri menetapi hukum itu sepanjang pendapatnya tentang masalah itu belum berubah, sebab hukum hasil ijtihadnya itu merupakan hukum syar’i menurut persangkaannya, dan ia tidak dibenarkan meninggalkannya atau memakai pendapat mujtahid lain tentang ketentuan hukum masalah itu, kecuali kalau hal itu merupakan hasil ijtihad dan tarjih.
Demikian juga apabila mujtahid tersebut seorang hakim, kemudian ijtihadnya berubah setelah putusannya dijatuhkan, maka menurut kesepakatan ulama hal seperti ini putusan tersebut tidak boleh dibatalkan sepanjang tidak menyalahi dalil qath’i atau nash atau qiyas yang jelas (jaliy). Hal itu demi wibawa hukum itu sendiri, sebab kalau hasil ijtihad atau putusan itu dapat dibatalkan karena adanya perubahan ijtihad yang baru atau karena mengikuti hasil ijtihad hakim yang lain maka putusan-putusan itu tidak mempunyai ketetapan.
Apabila jika ada orang yang lebih ahli dalam bidang fiqh dari padanya sedang hakim sendiri tidak berpendapat demikian, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat. Pertama, hakim wajib berpegangan pada pendapatnya sendiri karena seorang mujtahid tidak boleh bertaklid. Seperti pada masa khulafaurrasyidin, sahabat Umar r.a pernah menetapkan sebuah hukum, kemudian pada kali yang lain beliau memutuskan perkara yang sama tetapi berbeda keputusannya. Di waktu orang –dalam kasus pertama- bertanya kepadanya beliau menjawab: ”yang dahulu adalah kami putuskan menurut dahulu dan ini adalah putusan kami yang sekarang” . Dan pendapat yang ke-dua mengatakan bahwa hakim boleh mengambil pendapat yang lain itu selama hakim tidak menyalahi pendapat sahabat karena pendapat sahabat lebih dekat kepada kebenaran dari pendapat yang diambil melalui jalan qias .
Dalam konteks yang berbeda, hakim merupakan unsur utama dalam pengadilan. Bahkan ia ‘identik’ dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman sering kali di identikkan dengan kebebasan hakim. Demikian halnya, keputusan pengadilan diidentikkan dengan keputusan hakim. Oelh karena itu, pencapaian penegakan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan. Berkenaan dengan itu, Cik Hasan Bisri mengaatakan bahwa munculnya idealisasi serta preskripsi-preskripsi tentang hakim. Dikalangan fuqaha’ terdapat beranekaragam pandangan tentang persyaratan untuk dapat diangkat menjadi hakim, termasuk diantaranya teentang kemampuan berijtihad. Hal lain yang menjadi bahan pembicaraan dikalangan mereka adalah jenis kelamin laki-laki merupakan syarat yang disepakati untuk dapat diangkat menjadi hakim. Sedangkan tentang perempuan terdapat beragam pandangan.
Disini, saya mencantumkan syarat-syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad dalam kajian ushul fiqh. Diantaranya adalah menurut Hanafi, ada lima syarat yang harus dipenuhi, di antaranya ;
1. Mengetahi bahasa Arab dengan segala seginya
2. Mengetahui cara pengambilan hukum dari ayat-ayat Al-Qur’an dan asbabun-nuzulnya.
3. Mengetahui hadist-hadist syar’i dan seluk beluk ilmu hadist.
4. Mengerti penerapan metode-metode ijtihat sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
5. Mengerti soal nasikh-mansukh
Syarat-syarat tersebut menurut Hanafi hanya diperlukan bagi seorang mujtahid mutlak untuk mujtahid parsial (untuk bidang tertentu) cukup mengetahui lapangan hukum menurut keahlian khususnya saja, misalnya lapangan hukum pernikahan.
Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, seorang mujtahid mutlak mesti melengkapi dirinya dengan alat atau syarat-syarat berikut ini :
1. Mengetahui segala ayat dan sunnah yang berhubungan dengan hukum.
2. Mengetahui masalah-masalah yang telah disepakati oleh para ahlinya.
3. Mengetaui nasikh-mansukh.
4. Mengetahui dengan sempurna bahasa Arab dengan ilmu-ilmunya.
5. Mengetahui rahasia-rahasia tasyri’.
6. Menetahui Qawaidil-Fiqh (kaidah-kaidah hukum fikih), di samping ushul fiqh.
Ditambahkan oleh beliau bahwa bagi seorang mujtahid yang berijtihad dalam beberapa masalah, cukuplah dia mengetahui dalil-dalil yang berpautan dengan masalah-masalah itu. Dan masih banyak lagi pendapat para pakar mengenai kriteria seorang hakim.
Kesimpulan
Ungkapan bahwa hakim tidak boleh menolak untuk memutuskan perkara dengan asalan hukum belum ada adalah kesempatan emas untuk menjadikan fiqh disebut dengan ijtihad. Suatu Hadits yang sering dikutip dalam pembahasan mengenai ilmu hukum Islam. Hakim dapat melakukan analogi dan interpretasi hukum, sebagaimana biasa sekali dibahas dalam ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh. Fiqh secara legal formal dapat dijadikan landasan dan pertimbangan hakim untuk memberi putusan hukum (Qodry Azizy, 2004:247-252)
Menurut Jimly as-Siddiqiy: seorang hakim yang baik di Indonesia adalah yang menguasai nilai-nilai dari hukum Islam, hukum positif dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Karena dengan menguasai tiga elemen tersebut, keputusan seorang hakim dapat diterima oleh semua kalangan.
Dan dalam konteks Undang-undang, sebagai seorang hakim agama juga tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip yang terdapat di dalam al-qur’an dan as-sunnah. Harus ada kejelian melihat sesuatu permasalahan dari segala aspek yang ada, agar hasil keputusannya bisa sempurna.
Daftar Pustaka
As-Shiddieqy, Hasbi. 1975. Pengatantar Hukum Islam I,. Jakarta , Bulan Bintang
_________________ Peradilan dan Hukum Acara Islam, PT Al-Ma’arif
http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/peradilan-agama
Soeparmono, 2005. Hukum Acara Perdata, Bandung, Mandar Maju
Bisri, Cik Hasan, 2003. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press
http://muliadinur.wordpress.com/2008/03/25/perbandingan-metode-penemuan-hukum/
Zuhriah, Erfaniah. 2008. Peradilan Agama di Indonesia. Malang, UIN Press
Syafe’i, Rachmat. 2007, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia
A. Hanafi, 1970, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang
Langganan:
Postingan (Atom)