Rabu, 18 Januari 2012

TAK SESULIT YANG DIBAYANGKAN


Di kalangan mahasiswa pasti tak asing dengan kata-kata “dibantai” ketika ujian proposal ataupun skripsi. Sebenarnya kata tersebut bukanlah pembantaian layaknya dalam peperangan, hanya sebuah ungkapan betapa menegangkannya setiap detik dalam ujian. Dosen penguji akan menanyakan setiap inci dari apa yang ditulis dengan cermat dan jeli, sehingga mahasiswa merasa dipojokkan dan klabakan dalam menjawab rentetan pertanyaan yang diajukan. Salah sedikit dalam menjawab maka pertanyaan-pertanyaan baru siap bermuntahan dari mulut penguji. Tak jarang ada yang frustasi bahkan menangis ketika ujian. Pernah ketika saya meyaksikan ujian proposal, ada mahasiswa puteri yang menangis ketika diuji. Entah karena dosen penguji terkesan garang dan kritisnya pertanyaan yang diajukan atau memang mbak tersebut kurang mempersiapkan bahan ujian. Bahkan proposal teman saya langsung ditolak pada saat ujian, dengan dalih latar belakang dengan rumusan masalah tidak sesuai, padahal dia belum sempat mempresentasikannya.
Inilah yang membuat saya was-was ketika hendak ujian proposal beberapa hari yang lalu. Kata-kata dibantai selalu terngiang di ingatan. Namun, saya berusaha menanggapinya dengan positif. Dua malam me-lembur-kan diri demi sempurnanya proposal sebelum diserahkan. Capek, lesu dan agak pusing juga sih kepala ini lantaran kurang tidur, namun tak apalah, toh ini demi kebaikanku juga. Menjelang hari-H (ujian) perasaan H2C (harap-harap cemas) mulai menjalar. Ketakutan akan dibantai oleh dosen penguji semakin besar ketika ku lihat dalam jadwal bahwa akulah orang pertama yang akan diuji pada pukul 08.00 WIB. Apalagi dosen yang akan menguji terkenal dengan kritisnya beliau dalam memahami dan menanyakan isi dari proposal. Dengan memahami dan belajar lagi dari apa yang telah ku tulis, serta memohon pertolongan dari-Nya, aku siap untuk ujian dan berharap diberi kemudahan serta kelancaran saat ujian.
Ketika tiga dosen penguji datang dan memasuki ruangan, akupun bersiap untuk menghadapi ujian. Berbekal catatan dan sebuah pulpen pilot serta diiringi doa “Allaahumma Nawwir Qolbii bi Nuri Hidaayatika, Kamaa Nawwartal Ardlo bi Nuri Syamsika Abadan-abadaa... (Ya Allah, Terangilah Hatiku dengan Cahaya Hidayah-Mu, layaknya Engkau Menyinari Bumi dengan Cahaya Matahari...)” ku langkahkah kaki menuju kursi panas. Mereka memberikan waktu 7 menit untuk menjelaskan secara singkat isi dari proposalku. Dan Alhamdulilah, komentar pertama yang aku terima setelah selesai presentasi adalah “Cukup jelas, sepertinya saudara memahami betul tentang materi ini, mudah-mudahan apa yang saudara teliti dapat bermanfaat dan mendukung bidang yang saudara inginkan.” Kata-kata itu cukup melegakan perasaan yang awalnya tegang. Selanjutnya pernyataan-pernyataan yang beliau sampaikan juga lebih pada masukan dalam prosesnya penelitian nanti, tidak ada istilah pembantaian seperti yang dibayangkan. Dari sini ku menyadari bahwa, dibantai saat ujian sebenarnya tergantung dari diri mahasiswa yang akan ujian, apakah ia telah mempersiapkan materi dan teorinya secara matang atau tidak.
Seringkali orang berlebihan dalam menilai sesuatu yang belum mereka lakukan. Sebenarnya wajar, jika kekhawatiran muncul ketika akan melakukan suatu hal, namun bukan berarti harus menghindarinya. Demi kesuksesan, cara yang tepat adalah LAKUKAN dan JALANI. Jangan beranggapan akan Gagal jika belum pernah melakukan. Jangan berpikir Sulit sebelum dijalani. Karena keberhasilan dan kesuksesan itu tak sesulit yang kita bayangkan...

Sabros, 18 Jan 2012 (02.50 WIB)